SEJARAH ASAL USUL DESA KEJIWAN
SEJARAH ASAL USUL DESA KEJIWAN
Ki Mertabumi (Ki Taka bin Talab) adalah salah
seorang Ki Gede dan abdi dalem kesultanan Cirebon. Pada suatu hari
ketika Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang mengadakan kenduri dalam
rangka syukuran hajat walimah, ternyata persediaan air untuk keperluan kenduri
tersebut kurang. Maka oleh Kanjeng Sinuhun Ki Taka diperintahkan
untuk mencari air. Namun aneh Ki Taka berangkat hanya membawa keranjang wadah rumput,
tidak membawa ember untuk wadah airnya. Keranjang yang sudah diisi air itu
dibawanya ke keraton. Orang-orang yang melihatnya, geleng-geleng kepala tanda
kagum. Kok bisa-bisanya air diwadahi keranjang, bahkan sampai penuh (luber,
Cirebon). Melihat kejadian itu Kanjeng Sinuhun tersenyum, juga sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Sejak itu Ki Taka dijuluki Ki Luber,
karena Ki Mertabumi dapat membawa air diwadahi keranjang yang
berlubang sampai luber. Luber juga ilmunya, Kanjeng Sinuhun membatin.
Seusai kenduri, Kanjeng Sunan
Jati Purba memerintahkan kepada para Ki Gede untuk membuka hutan di
wilayah cakrahannya masing-masing. Wilayah cakrahan Ki Luber adalah dari ujung
sebelah barat berbatasan dengan wilayah Indramayu.
Ki Luber adalah seorang sakti mandraguna,
terpelihara jiwanya, kepribadiannya sangat terpuji, lemah lembut, berbudi
luhur, rendah hati dan murah hati terhadap sesama. Ketika ia membuka hutan
tidak bersusah payah menebang pohon-pohon. Atas ridho Allah, dengan ilmu yang
dimiliki, hanya dengan tudang-tuding saja pepohonan di hutan itu roboh rata
dengan tanah. Kemudian dijadikanlah pedukuhan untuk tempat tinggal Ki Luber dan
keluarganya. Karena Ki Taka seorang yang berjiwa yang luhur dan terpuji, maka
Ki Taka dijuluki Ki Kejiwantaka dan pedukuhan yang dibangunnya dinamakan
Pedukuhan Kejiwan dan sekarang menjadi Desa Kejiwan dalam Wilayah Kecamatan
Susukan. Sejak saat itu Ki Luber (Ki Taka) disebut orang Ki Gede Kejiwantaka.
Pada setiap kesempatan ia selalu mengajarkan ilmu agama Islam, lama kelamaan
banyak santrinya. Kemudian dibangun sebuah pesantren dan sumur untuk mandi,
minum, dan berwudlu para santrinya dan masyarakat sekitarnya. Sumur itu diberi
nama Sumur Kejiwantaka. Sumur itu sampai sekarang masih ada dan banyak
dikunjungi masyarakat baik masyarakat setempat maupun dari luar daerah untuk
mandi dan minum, mereka senantiasa mengharapkan karomahnya. Konon katanya
setelah mandi dan minum air sumur itu maka tenaganya menjadi kuat. Wallahu
A’’lam.
Suatu waktu Kanjeng Sunan Gunung Jati bersama para
petinggi keraton berkunjung ke daerah-daerah dengan mengendarai pedati (glebeg)
dan membawa perbekalan secukupnya tidak lupa membawa serta Ki Mertabumi. Setiap
daerah yang dikunjungi selalu saja para sesepuhnya mempersembahkan kepada
Kanjeng Sinuhun barang-barang hasil bumi antara lain: padi, jagung, waluh,
ketimun, kacang tanah dan lain-lain sebagai buah tangan. Karena saratnya
barang-barang bawaan yang dimuat, maka sampai di daerah Kedung Ngengeng wilayah
Ligung, tiba-tiba pedati itu ambles ke tanah, sehingga susah untuk diangkat.
Maka Kanjeng Sinuhun memerintahkan para petinggi keraton untuk mengadakan
sayembara; Barang siapa yang bisa mengangkat pedati itu akan diberi hadiah 1 Ha
tanah.
Banyak para Ki Gede yang mengikuti sayembara, antara lain: Ki Gede
Tegal Gubug, Ki Gede Rawagatel, Ki Gede Bojong, Ki Gede
Jungjang, Ki Gede Mejasri, Ki Gede Bunder, Ki Gede Jatianom dan Ki Gede
Ujunggebang. Namun tidak ada yang kuat mengangkat pedati itu, walaupun
dengan menggunakan kerbau piaraannya masing-masing. Melihat kenyataan itu Ki
Gede Kejiwan pulang mengambil kerbaunya ingin coba-coba ikut sayembara. Setelah
kembali dengan membawa seekor kerbau para Ki Gede mentertawakan sambil
mengejek, karena yang mereka lihat adalah seekor kerbau yang kecil, begitu pula
badan Ki Kejiwantaka kecil dan kurus, menurut mereka tidak mungkin bisa untuk
mengangkat pedati yang sangat berat itu. Pelaksanaan sayembara dihentikan
karena waktu sudah malam, para Ki Gede tertidur pulas karena kelelahan. Pada
saat para Ki Gede tertidur, Ki Kejiwantaka secara diam-diam dengan kerbaunya
mencoba mengangkat pedati itu, kerbaunya yang menarik dan Ki Kejiwantaka dengan
kesaktiannya mengangkat pedati itu hanya dengan ibu jari sebelah kakinya saja.
Setelah terangkat kerbaunya dilepas dan diikat di sebuah pohon disamping
kerbau-kerbau lainnya milik para Ki Gede. Kemudian Ki Kejiwantaka tidur pula
disamping para Ki Gede. Gusti Kanjeng Sinuhun tahu, dan pada saat Ki Gede
Kejiwantaka tertidur, oleh Kanjeng Sinuhun diberi ciri (tanda) dengan
melilitkan benting (sabuk dari kain) warna hitam di perut Ki Kejiwantaka dan
leher kerbaunya.
Pada keesokan harinya para Ki Gede kebingungan
karena melihat pedati itu sudah terangkat, setelah ditanyakan oleh petinggi
keraton siapa yang telah mengangkat pedati itu, mereka tidak ada yang mengaku.
Kemudian Kanjeng Sinuhun menyatakan, bahwa barang siapa di antara para Ki Gede
yang perutnya ada tanda “benting warna hitam” dan juga di leher kerbaunya, maka
ialah yang telah berhasil mengangkat pedati itu. Ternyata yang ada tanda
tersebut adalah Ki Gede Kejiwantaka.
Para Ki Gede terkejut, mereka merasa malu karena
telah mengejek Ki Gede Kejiwantaka. Walupun kerbaunya kecil dan postur tubuh Li
Gede Kejiwantaka kecil dan kurus, namun memiliki kekuatan yang luar biasa.
Sehingga oleh Kanjeng Sinuhun Ki Gede Kejiwantaka dianugerahi nama Ki Beyot
(Beyot artinya kecil tapi kuat). Kemudian hadiah yang dijanjikan yaitu tanah
seluas 1 Ha di daerah Kerdung Ngengeng diserahkan kepada Ki Beyot.
Perjalanan kunjungan ke daerah-daerah dilanjutkan
dengan menggunakan pedati yang ditarik oleh kerbaunya Ki Beyot, hingga sampai
di Desa Krangkeng wilayah Indramayu. Sesampainya di sana pedati yang ditumpangi
Kanjeng Sinuhun, Ki Beyot dan para petinggi keraton itu rusak, akhirnya
diputuskan untuk ditinggal di Desa Krangkeng, sedangkan kerbaunya dibawa lagi
pulang. Sampai sekarang pedati itu masihada di pendopo Balai Desa Krangkeng dan
dirawat oleh seorang Juru Kunci. Pedati itu dikenal dengan Pedati Ki Luber.
Menurut ceritera masyarakat setempat bahwa setiap malam Jum’at Kliwon kerbau Ki
Luber suka nampak di sekitar bangunan pendopo.
A. Nama Desa Kejiwan
Pada zaman kerajaan, setelah berdirinya kerajaan
Islam Pakungwati Cirebon, dibawah pimpinan Sunan Gunungjati tepatnya pada tahun
1406 M, tersebutlah salah seorang murid dia bernama Taka Bin Takab yang
di kenal dengan Ki Beyot meminta izin untuk membuka pedukuhan (Desa),
yang berada di perbatasan Kerajaan Indramayu dengan Rajanya Prabu Indra Wijaya
(Arya Wiralodra), yang pada tahun 1528 M kerajaan ini menggabungkan diri dengan
Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.Setelah memperoleh izin dari Sunan
Gunungjati, maka Ki Beyot mulai membuka hutan (Babad Alas) bersama Nyi
Gede Susukan yaitu Nyi Tosa. Ki Beyot membuka hutan dengan cangkul dan pedang,
wilayah yang terdapat hasil cangkulan (tebalan) termasuk wilayah
kekuasaan Ki Beyot, sedangkan karena Nyi Tosa seorang perempuan yang tidak bisa
mencangkul, maka ia menandai daerahnya dengan membakar hutan dengan api,
wilayah yang terdapat bekas bakaran (Obar-obaran) termasuk daerah
kekuasaan Nyi Tosa.
Berhari-hari kegiatan membuka hutan itu
dilakukan, sampailah Ki Beyot di daerah Bundermire. Setelah
pembukaan hutan sampai didaerah tersebut, Ki Beyot menghentikan kegiatannya
karena sempat tergoda dengan Nyi Tosa Yang berwajah Cantik, berbadan kuning dan
suka nginang, sehingga disaat demikian, Nyi Tosa tidak menyia-nyiakan
kesempatan, ia memperluas wilayahnya hingga ke daerah Pucuk Sawit.
Oleh karena itu wilayah Susukan lebih luas hingga mencapai daerah Pucuk Sawit,
sedangkan Kejiwan hanya sampai daerah Bundermire.
Setelah selesai membuka hutan, Ki Beyot
menamakannya desa Kejiwaan, yang berarti pembukaannya dengan jiwa (tenaga),
selain itu karena sifat Ki Beyot sendiri yang mempunyai Kejiwaan yang kuat,
walaupun dicaci, dihina dan diremehkan dia tidak membalasnya. Karena logat
Orang Jawa yang cepat, kata Kejiwaan disebut menjadi KEJIWAN. Hingga sekarang
desa kita ini disebut Kejiwan.Sedangkan wilayah Nyi Tosa dinamakan Yangtanjung
(desanya berada di tengah sawah), kearah timur dari desa itu merupakan sebuah
kebun yang subur, yang memiliki sebuah kalen (sungai kecil)yang selalu
disusuk (dijeroi) agar airnya dapat mengalir dengan lancar, sehingga
daerah tersebut disebut Susukan. Karena kesuburannya dan letaknya yang
strategis, banyak penduduk desa Yangtanjung berpindah ke Susukan. Hingga
sekarang Susukan menjadi desa yang besar, sedangkan Yangtanjung sudah di
tinggalkan oleh penduduknya.
B. Ki Beyot (Kejiwan Taka)
Di lain waktu, saat rombongan Keraton yang akan
berdakwah dengan wayang Karya Sunan Kalijaga, glebeg (semacam kereta
kuda yang besar) yang mengangkut alat-alat gamelan dan wayang kulit terperosok
(kepater) di desa Leuweung Hapit (sekarang merupakan salah satu desa di
Kecamatan Ligung Kab. Majalengka). Sunan Gunungjati mengadakan sayembara,
barang siapa yang sanggup mengangkat glebeg itu dengan kerbau yang di
milikinya, maka akan di berikan hadiah yang besar. Seluruh perwakilan dari tiap
desa datang bersama kerbaunya, seperti Ki Jaka Tawan (Ki Gede
Rawagatel), Ki Suropati (Ki gede Tegalgubug), Ki Pedes (Ki gede
Bojongkulon) dan Kigede-Kigede lain sekitar Cirebon, tetapi dari sekian banyak
perwakilan tidak ada yang sanggup mengangkat glebeg itu hingga waktu mulai
malam. Dari sekian banyak peserta,kerbau Ki Beyot merupakan kerbau yang paling
kurus, tanduknya tumpul, tubuhnya kecil, agak kemerahan dan matanya beleken
(jauh di hati dekat di mata), sehingga di tertawakan oleh para peserta, tetapi
dia tetap sabar dan tidak membalas ocehan mereka.
Setelah malam mulai larut ketika semua orang
tertidur pulas, Ki Beyot secara diam-diam menarik glebeg itu dengan kerbaunya,
Ki Beyot berdo’a kepada Allah agar kerbaunya di berikan kekuatan agar bisa
menarik glebeg tersebut. Setelah berdo’a, dengan izin Allah SWT, glebeg itu
terangkat dan dapat di tarik serta diletakkan di tanah yang rata, kemudian Ki
Beyot mengembalikan keadaan kerbaunya seperti semula agar tidak diketahui orang
bahwa kerbaunyalah yang dapat menarik glebeg itu. Tetapi di luar dugaan, salah
seorang prajurit Keraton mengetahui hal ini, ia tandai kerbau Ki Beyot dengan
mencoret muka kerbau itu dengan apu (semacam kapur).
Pada keesokan harinya, gegerlah para peserta,
mereka heran siapa yang telah berhasil mengangkat glebeg itu. Semua peserta
bingung dan bertanya-tanya, siapa gerangan yang telah berhasilmengangkat glebeg
tersebut. Bahkan Ki Beyotpun diam saja seolah tidak mengetahui apa-apa, karena
memang sifat dia sendiri yang pemalu, pendiam, rendah hati dan tidak suka
pamer. Sampai akhirnya ada salah seorang prajurit yang mengetahui kejadian
semalam, menceritakan dengan sebenarnya dan mengumumkan bahwa siapa yang
kerbaunya terdapat coretan apu, itulah yang telah mengangkat glebeg. Setelah di
ketahui bahwa kerbau Ki Beyotlah yang telah menarik glebeg, maka Ki Beyot di
berikan hadiah dan dipersilahkan kerbaunya terus menarik hingga sampai di
daerah Krangkeng Indramayu. Sampai sekarang, glebeg itu masih tersimpan
di desa Krangkeng, konon hanya warga Kejiwan dan keturunannya saja yang dapat
masuk dan melihat glebeg tersebut. Wallahu A’lam Bisshowab. (hanya Allah SWT
yang maha mengetahui kejadian yang sebenarnya)
C. Sumur Kejiwan
Sumur Kejiwan adalah sumur yang memiliki
keistimewaan dibandingkan dengan sumur-sumur lain. Unjungan Desa sering
dipusatkan di lokasi ini. Sejarah Sumur Kejiwan adalah: Ketika wilayah Cirebon
kekeringan, saat itu di keraton Pakungwati Cirebon ada kegiatan tahunan Sunan
Gunungjati mengundang Ki Gede Kejiwan ke Kraton sambil membawa air dari sumur
Kejiwan. Ki Beyot mematuhi perintah guru dia Sunan Gunungjati, datang ke
Cirebon dengan memikul air dari sumur Kejiwan, anehnya air itu dibawa dalam
keranjang tetapi tidak bocor. Sesampainya di Cirebon Ki Beyot menumpahkan air
dari keranjang itu ke paso-paso penduduk, anehnya lagi puluhan paso dapat
terpenuhi hingga luber padahal air yang di bawa hanya dua keranjang. Oleh
karena itu Ki Beyot di beri julukan Ki Luber.
D. Ki Lamun (Ki Buyutan)
Ki Lamun adalah salah satu Ki Gede Kejiwan, Ia
memperistri putri dari Ki Gede Kedongdong sehingga desa Kejiwan dengan desa
Kedongdong ada hubungan mertua. Ki Gede Ki Lamun mempunyai 25 anak keturunan
yang semuanya menjadi Ki Gede yang tersebar ke berbagai daerah luar desa
Kejiwan seperti ada yang berada di Sumber, Bongas, Ligung dan lain-lain.
Sedangkan sebagian lagi berada di Kejiwan seperti Ki Gede Kirawuh, Ki Suwala,
Ki Gede Sikepel dan lain-lain.
E. Ki Muaji
Ki Gede Ki Muaji merupakan santri dari Ki Gede
Gagarsari, saat Ki Muaji bekerja di sawah (meluku) Weluku yang dia
gunakan patah menjadi dua, Ki Muaji mencoba mengganti weluku itu dengan yang
baru tetapi Gurunya (Ki Gede Gagarsari) menolak, ia ingin agar welukunya itu
kembali seperti semula tidak diganti dengan uang atau dengan yang baru. Hal ini
dimaksudkan menguji sejauh mana kemampuan muridnya itu untuk bertanggung jawab
dan menunjukkan kemampuan (Kesaktian) kepada Gurunya.
Ki Muaji terus berfikir bagaimana caranya agar
weluku itu kembali seperti semula, akhirnya dia berpuasa dan menempelkan weluku
yang patah itu dengan tanah liat dan mengelus-elusnya sehingga atas izin Allah
SWT weluku yang patah itu kembali tersambung seperti semula, dan dari kemampuan
inilah Ki Muaji dapat menyembuhkan penyakit.
Komentar
Posting Komentar