Kerajaan Perlak




BAB I


Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui kekuasaan politik . hal itu mendukung semakin meluasnya ajaran Islam. Sebelum Islam dianut secara luas, perkembangan Islam pada awalnya terjadi di kota-kota pelabuhan. Selanjutnya, secara perlahan-lahan agama Islam mulai dianut oleh para penguasa pelabuhan lokal. Islam telah memberikan identitas baru sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa pusat yang beragama Hindu di pedalaman. Berangkat dari kerajaan kecil berbasis maritime kemudian agama Islam berkembang dan menyebar lebih luas sampai ke pelosok negeri.
Dalam perkembangan selanjutnya, agama Islam menempati posisi penting dalam percaturan sosial ekonomi dan sosial politik. Kekuatan sosial politik makin mantap setelah munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan-kerajaan tersebut kemudian memberikan dukungan dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia.


  1. Bagaimana Sejarah Islam di Perlak?
  2. Bagaimana Sejarah Islam di Samudra Pasai?
  3. Bagaimana Sejarah Islam di Aceh?

  1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Perlak
  2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Samudra Pasai
  3. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Aceh





Pada akhir abad ke-12, di Pantai timur Sumatra terdapat negara Islam bernama Perlak. Didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Gujarat, yang menetap disana sejak awal abad ke-12. Pendirinya adalah orang arab keturunan suku Quraisy. Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak. dari perkawinan itu, ia mendapat seorang putra bernama Sayid Abdul Aziz yang kemudian menjadi sultan pertama negeri Kerajaan Perlak dan mendapat gelar Sultan Alaidin Syah (1161-1186).[1]
1.        Sultan Alaidin Syah (1161-1186)
2.        Sultan Alaidin Abdurrahim Syah Ibn Sayyid Abdul Aziz (1186-1210)
3.        Sultan Alaidin Sayyid Abbas Syah (1210-1236)
4.        Sultan Alaidin Mughayat Syah (1236-1239)
5.        Sultah Mahdum Alaidin Abdul Kadir Syah (1239-1243)
6.        Sultan Mahdum Alaidin Muhammad Amin Syah (1243-1267)
7.        Sutltan Sultan Mahdum Abdul Malik Syah (1267-1275)
8.        Sultan Alaidin Malik Ibrahim Syah (1275-1296)

Perlak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju dan banyak disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal tersebut membuat berkembangnya islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Akhir dari Kerajaan Perlak dikarenakan raja terakhir kerajaan Perlak menikahkan putrinya yaitu Putri Ganggang dengan raja dari kerajaan Samudra Pasai, Sultan Malik as-Saleh. Kemudian raja Perlak wafat dan Kerajaannya jatuh dan menjadi bagian dari Kerajaan Pasai dibawah kepemimpinan Sultan Malik as-Saleh.



Bukti Peninggalan Kerajaan Perlak
Peninggalaln-peninggalan sejarah yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mendukung dan membuktikan mengenai keberadaan Kerajaan Perlak antara lain sebagai berikut:
1.      Mata uang Perlak
Mata uang Perlak ini diyakini merupakan mata uang tertua yang ditemukandi Nusantara. Ada tiga jenis mata uang yang ditemukan, yakni yang pertama terbuat dari emas (dirham) yang kedua dari Perak (kupang) yang ketiga dari tembaga atau kuningan.
2.      Stempel Kerajaan
Stempel kerajaan ini bertuliskan huruf arab, model tulisan tenggelam yang membentu kalimat ”Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512”.
3.      Makam Raja Benoa
Bukti lain yang memperkuat keberadaan Kerajaan Perlak adalah makam dari Raja Benoa di tepi sungai Trenggulon, Batu nisan makam tersebut bertuliskan huruf arab.

Samudra Pasai adalah kerajaan pertama di Indonesia yang menganut agama Islam. Letaknya di pantai utara Sumatra (Aceh) dekat Perlak (malaysia).
Kerajaan Samudra Pasai berdiri pada abad ke-13 dan didirikan oleh Meurah Khair. Sejarah Kerajaan Samudra Pasai terdiri atas dua dinasti, yaitu dinasti Meurah Khair dan Meurah Silu. Pada awalnya, raja-raja dari dinasti Meurah Khair berkuasa di Samudra Pasai. Namun, Sultan Nazimudin al Kamil tidak memiliki keturunan. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai dan Hikayat Raja-raja Melayu, penguasa Samudra Pasai berikutnya adalah kekturunan dari dinasti Meurah Silu. Raja pertama bergelar Sultan Malik as-Saleh merupakan keturunan Raja Perlak, yang sekarang dikenal dengan Malaysia.
Sumber sejarah yang menyebutkan tentang keberadaan kerajaan ini antara lain:[2]
a.       Sejarah Dinasti Yuan (1282), di Cina tatkala Samudera Pasai mengirimkan utusan ke China. Keberadaan kerajaan ini diperkuat oleh keterangan Marco Polo.[3]
b.      Berita Marco Polo (1292), menyebutkan saat singgah di Sumatra mendapati penduduk setempat di sekitar Perlak beragama Islam. Ia juga mengagumi kemajuan yang dicapai oleh Samudra Pasai.
c.       Berita Ibnu Batutah (1304-1368), musafir dari Maroko. Dalam kunjungan pertamamnya tahun 1326, ia menuturkan masyarakat pedagang di kerajaan ini sebagian besar beragama Islam. Saat singgah kembali pada 1345 (pada masa kekuasaan Al-Zahir), ia menyebutkan kerajaan ini sebagai sebuah pelabuhan yang ramai dan banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari Cina, India, serta dari Nusantara sendiri. ”Sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhan yang besar dan indah,” demikian kutipan dari catatan perjalanan berjudul ”Tuhfat Al-Nazha”. Ia juga menyebut Samudra Pasai sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.
d.      Hikakyat Raja-raja Pasai, merupakan karya berbahasa Melayu yang bercerita tentang kerajaan Islam (Kesultanan) pertama di Nusantara, Samudra Pasai. Menurut Dr. Russel Jones, hikayat ini ditulis pada abad ke-14. Hikayat ini mencakup masa dari berdirinya Kesultanan Samudra Pasaisampai ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit.
Menurut Catatan Batutah, aktifitas perdagangan di Pasai berkembang sangat pesat. Samudra Pasai menjelma menjadi pusat perdagangan internasional: ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai benua seperti Asia (Cina, India, Malaka) Afrika, dan Eropa. Selain dengan negara-negara di luar Nusantara, Pasai juga menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Nusantara (Jawa), yang oleh kesultanan diberi keistimewaan: bebas pajak. Para saudagar Jawa umumnya menukar beras dengan lada.
Komoditas utama Samudra Pasai adalah lada, kapur barus, dan emas. Untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal mata uang emas yang disebut dirham.
Kemajuan perekonomian membawa dampak pada kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial Pasai diatur menurut aturan dan hukum Islam. Mereka hidup saling menghormati sesuai dengan ajaran agama Islam. Hubungan antara sultan dan rakyat pun berjalan sangat baik. Dalam menjalankan pemerintahan, sultan didampingi para ulama, yang bekerja sebagai penasehat.
Dalam pelaksanaanya banyak terdapat kesamaan dengan kehidupan sosial-masyarakat di Mesir dan Arab. Kemiungkinan karena pengaruh Sultan Nazimuddin al-Kamil yang sangat besar membentuk struktur sosial-budaya Samudra Pasai
Sebagai kerajaan Islam pertama, Pasai juga memiliki kontribusi besar dalam pengembangan dan penyebaran islam di Nusantara. Pasai banyak mengirimkan ulama dan mubaligh untuk menyebarkan Islam di Jawa. Banyak juga ulama Jawa yang menimba ilmu agama di Pasai; salah satunya adalah Syekh Yusuf, seorang sufidan ulama penyebar Islam di Afrika Selatan. Konon, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati memiliki hubungan keluarga dengan sultan-sultan di Samudra Pasai.
Pada awal abad ke-16 terjadi beberapa pemberontakan internal di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Diceritakan, sultan di Pasai meminta bantuan Malaka untuk meredam pergolakan itu. Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan bangsa Portugis tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukkan Malaka tahun 1511. Pada 1524 wilayah Pasai menjadi bagian dari Kesultanan Aceh. Sejak saat itulah riwayat Pasai berakhir.
Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Samudera Pasai
Adapun raja yang pernah memerintah di Kerajaan Samudra Pasai adalah sebagai berikut.[4]
1. Sultan Malik Azh-Zhahir (1297-1326 M)
2. Sultan Mahmud Malik Azh-Zahir (1326-1345 M)
3. Sultan Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
4. Sultan Ahmad Malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
5. Sultan Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir (1383-1405 M)
6. Sultan Nahrasiyah (1405 M)
7. Sultan Abu Zaid Malik Azh-Zhahir (1455 M)
8. Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477 M)
9. Sultan Zainal Abidin (1477-1500 M)
10. Sultan Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513 M)
11. Sultan Zainal Abidin (1513-1524 M)

Pada masa pemerintahannya, kekuasaan kerajaan meliputi daerah Kedah di Semenanjung Malaya (buktinya terdapat pada sebuah batu nisan di Menyetujuh Pasai, Kedah). Sultan Zainal Abidin sangat aktif menyebarkan pengaruh Islam ke Pulau Jawa dan Sulawesi dengan mengirim ahli-ahli dakwah, seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak[5]
Pada awal abad ke-16 terjadi beberapa pembeerontakan internal di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Diceritakan, sultan Pasai meminta bantuan Malaka untuk meredam pergolakan itu pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan bangsa portugis tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukkan Malak pada tahun 1511.Kerajaan Samudra Pasai berakhir pada tahun 1524 M, ketika jatuh oleh kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[6]
Peninggalan-peninggalan Samudra Pasai.
1.      Cakra Donya
Adalah sebuah lonceng yang bisa dibilang keramat. Cakra Donya ini merupakan lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina tahun 1409 M. Lonceng ini memiliki tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra sendiri memiliki arti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, matahari atau cakrawala. Sementara Donya berarti dunia.
Pada bagian luar Cakra Donya terdapat sebuah hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Arab dan Cina. Aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus. Sedangkan aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Tjo (Sultang Sing Fa yang sudah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5).

2.      Naskah Surat Sultan Zainal Abidin
Merupakan surat yang ditulis oleh Sultan Zainal Abidin sebelum meninggal pada tahun 1518 M. Surat ini ditunjukan kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama Wakil Raja Portugis di India.
Surat ini ditulis menggunakan bahasa arab, isinya menjelaskan mengenai keadaan Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-16. Selain itu, dalam surat ini juga menggambarkan tentang keadaan terakhir yang dialami Kesultanan Samudra Pasai setelah bangsa portugis berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 M.
Nama-nama kerajaan atau negeri yang memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Samudra Pasai juga tertulis di dalamnya. Sehingga bisa diketahui pengejaan serta nama-nama kerajaan atau negeri tersebut. Adapun kerajaan atau negeri yang tertera dalam surat tersebut antara lain Negeri Mulaqat (Malaka) dan Fariyaman (Pariman).

3.      Stempel Kerajaan
Stempel ini diduga milik Sultan Muhamad Malikul Zahir yang merupakan Sultan kedua Kerajaan samudra Pasai. Dugaan tersebut dilontarkan oleh tim peneliti sejarah kerajaan Islam. Stempel ini ditemukan di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.
Stempel ini berukuran 2x1 centimter, diperkirakan terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Adapun kondisi stempel ketika ditemukan sudah patah pada bagian gagangnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa stempel ini sudah digunakan hingga masa pemerintahan pemimpin terakhir kerajaan Samudera Pasai, yakni Sultan ZainalAbidin.

Lokasi dan sumber sejarah
Kesultanan Aceh (1507-1903), yang berpusat di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) didirikan oleh Ali Mughayat Syah tahun 1496, diatas bekas wilayah kesultanan Lamuri yang ditaklukkan Mughayat Syah. Meski demikian, awalnya Aceh merupakan bagian atau semacam kerajaan bawahan Kesultanan Pedir. Karena itu, penentuan awal Aceh sebagai sebuah kesultanan adalah ketika Mughayat Syah dilantik menjadi sultan pada 1507, setelah berhasil menaklukkan pedir serta kesultanan-kesultanan lain sekitarnya seperti Daya, Lidie, dan Nakur. Keempat kesultanan ini juga dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Indra Purba, Indra Purwa dan Indrapura.[7]
Aceh merupakan salah satu dari kerajaan Islam yang besar, terutama karena kemampuannya mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya menentang hegemoni bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuan menjalin hubungan dengan negara-negara lain.
Aceh mewakili pusat dunia Islam di Asia Tenggara. Pada masa kejayaannya Aceh merupakan pusat peradaban di wilayah dunia Islam bagian timur, yaitu Asia Tenggara. Bahkan Aceh merupakan pintu transmisi jalur perjalanan penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara. Karena itu Aceh terkenal dengan sebutan Serambi Mekah.
Aceh merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke seluruh wilayan Nusantara. Di Aceh pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang pertama, yaitu Kerajaan Peurlak, Kerajaan Samudra Pasai, dan KerajaanAceh Darussalam.
Menurut Wilfred Cantwel smith, dalam bukunya Islam in Modern History, menyebutkan bahwa kejatuhan kota Konstantinopel ke dalam tangan Islam, sehingga pada awal abad ke-14 M muncullah di panggung dunia, Lima Besar Islam, sebagai pendukung kekuatan Islam, yaitu Maroko di Afrika Utara, Istambul di Asia Kecil, Isfahan di Timur Tengah, Agra di Anak Benua India, dan Aceh di Asia Tenggara. (Wilfred Cantwell smith, Islam in Modern History, London: Mentro Book, hlm. 45.)
Dari Aceh muncul beberapa tokoh keilmuan yang menandakan kemajuan keilmuan di kalangan umat Islam di Asia Tenggara. Beberapa ulama prestisius Aceh yabg terkenal dengan karya-karyanya adalah Nuruddim Ar-Raniri. Hamzah Fanshuri, yang mengarang Syair Perahu. Abdurrauf Singkel, Syamsuddin Sumatrani, dan masih banyak lagi.[8]
Dari Aceh, Islam juga berkembang ke berbagai wilayah Nusantara antara lain Islam berkembang ke Ampel, Demak, Cirebon, dan terus berkembang ke Sulawesi, Maluku dan Kalimantan.
Sumber sejarah tentang keusltanan ini adalah  Kitab Bustanul’ssalatin karya Nuruddin ar-Raniri tahun 1637, yang berisi tentang silsilah sultan-sultan Aceh; batu nisan makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan ini disebutkan Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 7 agustus 1530.
Aceh berkembang pesat ketika Pasai berada di ambang keruntuhan dan Malaka jatuh ke tangan Portugis. Hal itu disebabkan karena jatuhnya Malaka dan surutnya pengaruh Pasai membuat kapal-kapal yang lewat di perairan Selat Malaka singgah di pelabuhan Aceh. Pada tahun 1524 Pasai menjadi bagian dari Kesultanan Aceh. Kebesaran kesultanan ini tampak nyata dalam perlawanannya yang berani dan heroik tidak saja terhadap bangsa portugis tetapi juga terhadap penjajah Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh mencapai puncak kejayaan; wilayah kekuasaan meluas dari Deli sampai ke Semenanjung Malaya, Aceh cepat menjadi pelabuhan perdagangan yang besar, dibentuk tata pemerintahan yang rapi, secara militer sangat kuat dan disegani, dan terjalin hubungan dengan negara-negara lain (termasuk Eropa). Komoditi perdagangan cukup banyak, sebab Aceh kaya akan rempah-rempah dan bahan tambang (lada dan timah sangat kaya di Semenanjung Malaya). Jenis barang dagangan lainnya adalah beras, emas, perak, tekstil, porselen, dan minyak wangi. Pada masa pemerintahannya disusun sebuah undang-undang tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta Alam, yang ditulis dengan huruf Arab dan berbentuk syair Melayu.[9]
Islandar Muda juga sangat memperhatikan kestabilan dan ketahanan kerajaannya; maka, ia bentuk militer yang kuat sehingga secara militer Aceh dianggap kesultanan terkuat pada masa itu. Iskandar Muda juga terkenal piawai dalam urusan diplomasi, tidak saja dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara tetapi juga dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Utsmaniyah dan Perancis.
Meskipun kesultanan Aceh merupakan negara Islam, kehidupan masyarakatnya tetap bersifar feodal. Dalam tatanan masyarakatnya Aceh memiliki golongan bangsawan yang bergelar teuku, dan golongan ulama yang bergelar tengku; kedua golongan ini seringbersaing untuk berebut pengaruh dalam masyarakat.
Iskandar Muda digantikan Iskandar Tsani (1636-1641). Pada masa pemerintahannya hidup sastrawan besar bernama Nuruddin ar-Raniri yang dikenal dengan karyanya yang berjudul Bustanussalatin, yang berarti taman raja-raja;isinya adalah tentang adat istiadat Aceh dan ajaran tentang Islam.
Sepeninggal Iskandar Tsani, Aceh mengalami kekmunduran. Faktor utamanya adalah makin menguatnya Belanda di Pulau Sumatra dan Selat Malaka (ditandai jatuhnya Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu ke tangan Belanda). Pada saat yang sama tidak ada sultan yang semampu dan sehebat Iskandar Muda yang berjuang ketika Belanda menguasai Aceh pada 1904.
Faktor lainnya adalah karena adanya perebutan kekuasaan, terutama antara golongan bangsawan (teuku) dan golongan ulama (tengku); diantara para ulama sendiri pun terjadi pertikaian karena perbedaan aliran dalam agama (aliran Syi’ah da Ahlussunah wal Jama’ah).
Raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Aceh
1.      Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.      Sultan Salahudin (1528-1537)
3.      Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Kahar (1537-1568)
4.      Sultan Husein (1568-1575)
5.      Sultan Muda (1575)
6.      Sultan Sri Alalm (1575-1576)
7.      Sultan Zain Al Abidin (1576-1577)
8.      Sultan Alaudin Mansyur Syah (1577-1589)
9.      Sultan Ali Ri’yat Syah Putra (1589-1596)
10.  Sultan Alaudin Ri’yat Syah (1596-1604)
11.  Sultan Ali Ri’ayat Syah (1604-1607)
12.  Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
13.  Sultan Iskandar Tsani (1636-1641)
14.  Sultanah Tsafiatuddin Tajil Alam/ Putri Alam (1641-1675)
15.  Sultanah Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16.  Sultanah Zaqi sl-Din Inayat Syah (1678-1688)
17.  Sultanah Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
18.  Sultan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
19.  Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20.  Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21.  Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22.  Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23.  Sultan Ala’ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24.  Sultan Ala’ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25.  Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26.  Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27.  Sultan Sulaiman Syah 1785-1791)
28.  Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29.  Sultan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1759-1815)
30.  Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31.  Sultan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32.  Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
33.  Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
34.  Sultan Mansyur Syah (1857-1870)
35.  Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
36.  Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Peninggalan Kerajaan Aceh
1.      Masjid Raya Baiturrahman
Peninggalan kerajaan Aceh yang pertama serta paling terkenal uaitu Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar tahun 1612 M ini terletak di pusat kota Banda Aceh. Ketika agresi militer Belanda II, masjid ini pernah dibakar. Tetapi pada selang tahun 4 tahun setelahnya, Belanda membangunnya kembali untuk meredam amarah rakyat Aceh yangakan berperang merebut Syahid. Ketika bencana Tsunami menimpa Aceh pada 2004 lalu, masjid peninggalan sejarah Islam di Indonesia satu ini jadi pelindung untuk sebagian masyarakat Aceh. Kekokohan bangunannya tidak dapat digentarkan oleh sapuan ombak laut yang saat itu meluluhkan kota Banda Aceh.

2.      Taman Sari Gunongan
Merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Aceh. Taman ini dibangun pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Pahang sera Kerajan Johor di Semenanjung Malaka.
Sultan Iskandar Muda jatuh cinta pada Putri Boyongan dari Pahang dan menjadikannya permaisuri. Karena cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia untuk memenuhi keinginan Putri Boyongan untuk membangun sebuah Taman sari yang indah yang dilengkapi dengan Gunongan.

3.      Masjid Tua Indrapuri
Merupakan bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi. Bentuknya seperti candi, karena di masa lalu bangunan ini bekas benteng sekaligus candi kerajaan Hindu yang lebih dulu menguasai Aceh. Pada akhirnya bangunan yang awalnya candi ini berubah fungsi menjadi masjid pada masa Sultan Iskandar Muda.

4.      Benteng Indra Patra
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, benteng ini masih dipakai sebagai tempat pertahanan melawan penjajah portugis.


5.      Pinto Khop
Merupakan pintu gerbang yang berbentuk kubah. Tempat ini dibangun pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan menjadi pintu penghubunug antara istana serta taman putroe phang.

6.      Meriam Kesultanan Aceh
Meriam ini digunakan untuk mempertahankan Aceh dari serangan penjajah. Diproduksi oleh Aceh sendiri dari kuningan.

7.      Hikayat Prang Sabi
Merupakan suatu karya sastra yang berupa hikayat. Isinya membicarakan mengenai jihad. Ditulis oleh para ulama yang berisi ajakan, nasehat, serta seruan untuk terjun ke medan jihad untuk menegakkan agama Allah dari serangan kaum kafir. Bisa jadi, hikayat inilah yang menghidupkan semangat juang rakyat Aceh dahulu untuk mengusir penjajah.

8.      Makam Sultan Iskandar Muda
Makam ini terletak di Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, kota Banda Aceh. Ukiran sera pahatan kaligrafi pada batu nisannya sangat indah serta menjadi salah satu bukti sejarah masuknya Islam ke Indonesia.

9.      Uang Emas Kerajaan Aceh
Uang logam yang terbuat dari 70% emas murni lalu dicetak lengkap dengan nama-nama raja yang memerintah Aceh. Uang ini masih sering ditemukan serta menjadi harta karun yang sangat diburu oleh beberapa orang.











Islam pertama kali muncul dan berkembang di Nusantara dimulai dari daerah Sumatra. Didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Gujarat, yang menetap disana. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan Islam disana.
Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Perlak (sekarang Malaysia) yang kemudian jatuh dibawah kekuasaan kerajaan Samudra Pasai yang sedang berkembang pesat pada saat itu dan setelah Kerajaan Samudra Pasai runtuh lahirlah kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan Islam terbesar di Asia tenggara, kekuatan militernya tidak bisa diragukan lagi, oleh karena itu Kerajaan Aceh menjadi kerajaan yang sangat kuat. Kerajaan Aceh mempunyai peranan penting dalam persebaran islam di Nusantara, karena Aceh mengirimkan pendakwah-pendakwah untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru termasuk Jawa.
Kemudian pada akhirnya kerajaan-kerajaan islam itu hancur karena serangan dari penjajah dan menyisakan peninggalan-peninggalan yang masih ada sampai sekarang.













DAFTAR PUSTAKA


Muljana, Slamet. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS.
Hapsari, Ratna. 2014. SEJARAH Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Iskandar, Dodi. 1991. IPS SEJARAH SMP JILID 2. Bandung: Erlangga.
Wahid, Abbas. 2008. Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Alfian, Magdalia. 200. SEJARAH untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPS. :esis.
Munir, Samsul Amin. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.



[1] Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS) 2007, hlm. 130
[2] Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 193
[3] Dodi Iskandar, IPS SEJARAH SMP JILID 2, (Bandung, Erlangga) 1991, hlm. 9
[4] Abbas WahidKhazanah Sejarah Kebudayaan Islam, (Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri) 2008, hlm. 104
[5] Magdalia Alfian, SEJARAH untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPS, (:esis) 20, hlm. 89
[6] Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 196
[7] Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 199
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah) 2016, hlm. 333
[9] Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 201




BAB I


Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui kekuasaan politik . hal itu mendukung semakin meluasnya ajaran Islam. Sebelum Islam dianut secara luas, perkembangan Islam pada awalnya terjadi di kota-kota pelabuhan. Selanjutnya, secara perlahan-lahan agama Islam mulai dianut oleh para penguasa pelabuhan lokal. Islam telah memberikan identitas baru sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa pusat yang beragama Hindu di pedalaman. Berangkat dari kerajaan kecil berbasis maritime kemudian agama Islam berkembang dan menyebar lebih luas sampai ke pelosok negeri.
Dalam perkembangan selanjutnya, agama Islam menempati posisi penting dalam percaturan sosial ekonomi dan sosial politik. Kekuatan sosial politik makin mantap setelah munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan-kerajaan tersebut kemudian memberikan dukungan dalam usaha penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia.


  1. Bagaimana Sejarah Islam di Perlak?
  2. Bagaimana Sejarah Islam di Samudra Pasai?
  3. Bagaimana Sejarah Islam di Aceh?

  1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Perlak
  2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Samudra Pasai
  3. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Aceh





Pada akhir abad ke-12, di Pantai timur Sumatra terdapat negara Islam bernama Perlak. Didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Gujarat, yang menetap disana sejak awal abad ke-12. Pendirinya adalah orang arab keturunan suku Quraisy. Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak. dari perkawinan itu, ia mendapat seorang putra bernama Sayid Abdul Aziz yang kemudian menjadi sultan pertama negeri Kerajaan Perlak dan mendapat gelar Sultan Alaidin Syah (1161-1186).[1]
1.        Sultan Alaidin Syah (1161-1186)
2.        Sultan Alaidin Abdurrahim Syah Ibn Sayyid Abdul Aziz (1186-1210)
3.        Sultan Alaidin Sayyid Abbas Syah (1210-1236)
4.        Sultan Alaidin Mughayat Syah (1236-1239)
5.        Sultah Mahdum Alaidin Abdul Kadir Syah (1239-1243)
6.        Sultan Mahdum Alaidin Muhammad Amin Syah (1243-1267)
7.        Sutltan Sultan Mahdum Abdul Malik Syah (1267-1275)
8.        Sultan Alaidin Malik Ibrahim Syah (1275-1296)

Perlak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju dan banyak disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal tersebut membuat berkembangnya islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Akhir dari Kerajaan Perlak dikarenakan raja terakhir kerajaan Perlak menikahkan putrinya yaitu Putri Ganggang dengan raja dari kerajaan Samudra Pasai, Sultan Malik as-Saleh. Kemudian raja Perlak wafat dan Kerajaannya jatuh dan menjadi bagian dari Kerajaan Pasai dibawah kepemimpinan Sultan Malik as-Saleh.



Bukti Peninggalan Kerajaan Perlak
Peninggalaln-peninggalan sejarah yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mendukung dan membuktikan mengenai keberadaan Kerajaan Perlak antara lain sebagai berikut:
1.      Mata uang Perlak
Mata uang Perlak ini diyakini merupakan mata uang tertua yang ditemukandi Nusantara. Ada tiga jenis mata uang yang ditemukan, yakni yang pertama terbuat dari emas (dirham) yang kedua dari Perak (kupang) yang ketiga dari tembaga atau kuningan.
2.      Stempel Kerajaan
Stempel kerajaan ini bertuliskan huruf arab, model tulisan tenggelam yang membentu kalimat ”Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512”.
3.      Makam Raja Benoa
Bukti lain yang memperkuat keberadaan Kerajaan Perlak adalah makam dari Raja Benoa di tepi sungai Trenggulon, Batu nisan makam tersebut bertuliskan huruf arab.

Samudra Pasai adalah kerajaan pertama di Indonesia yang menganut agama Islam. Letaknya di pantai utara Sumatra (Aceh) dekat Perlak (malaysia).
Kerajaan Samudra Pasai berdiri pada abad ke-13 dan didirikan oleh Meurah Khair. Sejarah Kerajaan Samudra Pasai terdiri atas dua dinasti, yaitu dinasti Meurah Khair dan Meurah Silu. Pada awalnya, raja-raja dari dinasti Meurah Khair berkuasa di Samudra Pasai. Namun, Sultan Nazimudin al Kamil tidak memiliki keturunan. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai dan Hikayat Raja-raja Melayu, penguasa Samudra Pasai berikutnya adalah kekturunan dari dinasti Meurah Silu. Raja pertama bergelar Sultan Malik as-Saleh merupakan keturunan Raja Perlak, yang sekarang dikenal dengan Malaysia.
Sumber sejarah yang menyebutkan tentang keberadaan kerajaan ini antara lain:[2]
a.       Sejarah Dinasti Yuan (1282), di Cina tatkala Samudera Pasai mengirimkan utusan ke China. Keberadaan kerajaan ini diperkuat oleh keterangan Marco Polo.[3]
b.      Berita Marco Polo (1292), menyebutkan saat singgah di Sumatra mendapati penduduk setempat di sekitar Perlak beragama Islam. Ia juga mengagumi kemajuan yang dicapai oleh Samudra Pasai.
c.       Berita Ibnu Batutah (1304-1368), musafir dari Maroko. Dalam kunjungan pertamamnya tahun 1326, ia menuturkan masyarakat pedagang di kerajaan ini sebagian besar beragama Islam. Saat singgah kembali pada 1345 (pada masa kekuasaan Al-Zahir), ia menyebutkan kerajaan ini sebagai sebuah pelabuhan yang ramai dan banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari Cina, India, serta dari Nusantara sendiri. ”Sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhan yang besar dan indah,” demikian kutipan dari catatan perjalanan berjudul ”Tuhfat Al-Nazha”. Ia juga menyebut Samudra Pasai sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.
d.      Hikakyat Raja-raja Pasai, merupakan karya berbahasa Melayu yang bercerita tentang kerajaan Islam (Kesultanan) pertama di Nusantara, Samudra Pasai. Menurut Dr. Russel Jones, hikayat ini ditulis pada abad ke-14. Hikayat ini mencakup masa dari berdirinya Kesultanan Samudra Pasaisampai ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit.
Menurut Catatan Batutah, aktifitas perdagangan di Pasai berkembang sangat pesat. Samudra Pasai menjelma menjadi pusat perdagangan internasional: ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai benua seperti Asia (Cina, India, Malaka) Afrika, dan Eropa. Selain dengan negara-negara di luar Nusantara, Pasai juga menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Nusantara (Jawa), yang oleh kesultanan diberi keistimewaan: bebas pajak. Para saudagar Jawa umumnya menukar beras dengan lada.
Komoditas utama Samudra Pasai adalah lada, kapur barus, dan emas. Untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal mata uang emas yang disebut dirham.
Kemajuan perekonomian membawa dampak pada kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial Pasai diatur menurut aturan dan hukum Islam. Mereka hidup saling menghormati sesuai dengan ajaran agama Islam. Hubungan antara sultan dan rakyat pun berjalan sangat baik. Dalam menjalankan pemerintahan, sultan didampingi para ulama, yang bekerja sebagai penasehat.
Dalam pelaksanaanya banyak terdapat kesamaan dengan kehidupan sosial-masyarakat di Mesir dan Arab. Kemiungkinan karena pengaruh Sultan Nazimuddin al-Kamil yang sangat besar membentuk struktur sosial-budaya Samudra Pasai
Sebagai kerajaan Islam pertama, Pasai juga memiliki kontribusi besar dalam pengembangan dan penyebaran islam di Nusantara. Pasai banyak mengirimkan ulama dan mubaligh untuk menyebarkan Islam di Jawa. Banyak juga ulama Jawa yang menimba ilmu agama di Pasai; salah satunya adalah Syekh Yusuf, seorang sufidan ulama penyebar Islam di Afrika Selatan. Konon, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati memiliki hubungan keluarga dengan sultan-sultan di Samudra Pasai.
Pada awal abad ke-16 terjadi beberapa pemberontakan internal di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Diceritakan, sultan di Pasai meminta bantuan Malaka untuk meredam pergolakan itu. Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan bangsa Portugis tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukkan Malaka tahun 1511. Pada 1524 wilayah Pasai menjadi bagian dari Kesultanan Aceh. Sejak saat itulah riwayat Pasai berakhir.
Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Samudera Pasai
Adapun raja yang pernah memerintah di Kerajaan Samudra Pasai adalah sebagai berikut.[4]
1. Sultan Malik Azh-Zhahir (1297-1326 M)
2. Sultan Mahmud Malik Azh-Zahir (1326-1345 M)
3. Sultan Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
4. Sultan Ahmad Malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
5. Sultan Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir (1383-1405 M)
6. Sultan Nahrasiyah (1405 M)
7. Sultan Abu Zaid Malik Azh-Zhahir (1455 M)
8. Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477 M)
9. Sultan Zainal Abidin (1477-1500 M)
10. Sultan Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513 M)
11. Sultan Zainal Abidin (1513-1524 M)

Pada masa pemerintahannya, kekuasaan kerajaan meliputi daerah Kedah di Semenanjung Malaya (buktinya terdapat pada sebuah batu nisan di Menyetujuh Pasai, Kedah). Sultan Zainal Abidin sangat aktif menyebarkan pengaruh Islam ke Pulau Jawa dan Sulawesi dengan mengirim ahli-ahli dakwah, seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak[5]
Pada awal abad ke-16 terjadi beberapa pembeerontakan internal di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Diceritakan, sultan Pasai meminta bantuan Malaka untuk meredam pergolakan itu pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan bangsa portugis tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukkan Malak pada tahun 1511.Kerajaan Samudra Pasai berakhir pada tahun 1524 M, ketika jatuh oleh kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[6]
Peninggalan-peninggalan Samudra Pasai.
1.      Cakra Donya
Adalah sebuah lonceng yang bisa dibilang keramat. Cakra Donya ini merupakan lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina tahun 1409 M. Lonceng ini memiliki tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra sendiri memiliki arti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, matahari atau cakrawala. Sementara Donya berarti dunia.
Pada bagian luar Cakra Donya terdapat sebuah hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Arab dan Cina. Aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus. Sedangkan aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Tjo (Sultang Sing Fa yang sudah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5).

2.      Naskah Surat Sultan Zainal Abidin
Merupakan surat yang ditulis oleh Sultan Zainal Abidin sebelum meninggal pada tahun 1518 M. Surat ini ditunjukan kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama Wakil Raja Portugis di India.
Surat ini ditulis menggunakan bahasa arab, isinya menjelaskan mengenai keadaan Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-16. Selain itu, dalam surat ini juga menggambarkan tentang keadaan terakhir yang dialami Kesultanan Samudra Pasai setelah bangsa portugis berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 M.
Nama-nama kerajaan atau negeri yang memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Samudra Pasai juga tertulis di dalamnya. Sehingga bisa diketahui pengejaan serta nama-nama kerajaan atau negeri tersebut. Adapun kerajaan atau negeri yang tertera dalam surat tersebut antara lain Negeri Mulaqat (Malaka) dan Fariyaman (Pariman).

3.      Stempel Kerajaan
Stempel ini diduga milik Sultan Muhamad Malikul Zahir yang merupakan Sultan kedua Kerajaan samudra Pasai. Dugaan tersebut dilontarkan oleh tim peneliti sejarah kerajaan Islam. Stempel ini ditemukan di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara.
Stempel ini berukuran 2x1 centimter, diperkirakan terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Adapun kondisi stempel ketika ditemukan sudah patah pada bagian gagangnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa stempel ini sudah digunakan hingga masa pemerintahan pemimpin terakhir kerajaan Samudera Pasai, yakni Sultan ZainalAbidin.

Lokasi dan sumber sejarah
Kesultanan Aceh (1507-1903), yang berpusat di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) didirikan oleh Ali Mughayat Syah tahun 1496, diatas bekas wilayah kesultanan Lamuri yang ditaklukkan Mughayat Syah. Meski demikian, awalnya Aceh merupakan bagian atau semacam kerajaan bawahan Kesultanan Pedir. Karena itu, penentuan awal Aceh sebagai sebuah kesultanan adalah ketika Mughayat Syah dilantik menjadi sultan pada 1507, setelah berhasil menaklukkan pedir serta kesultanan-kesultanan lain sekitarnya seperti Daya, Lidie, dan Nakur. Keempat kesultanan ini juga dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Indra Purba, Indra Purwa dan Indrapura.[7]
Aceh merupakan salah satu dari kerajaan Islam yang besar, terutama karena kemampuannya mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya menentang hegemoni bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuan menjalin hubungan dengan negara-negara lain.
Aceh mewakili pusat dunia Islam di Asia Tenggara. Pada masa kejayaannya Aceh merupakan pusat peradaban di wilayah dunia Islam bagian timur, yaitu Asia Tenggara. Bahkan Aceh merupakan pintu transmisi jalur perjalanan penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah Asia Tenggara. Karena itu Aceh terkenal dengan sebutan Serambi Mekah.
Aceh merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke seluruh wilayan Nusantara. Di Aceh pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang pertama, yaitu Kerajaan Peurlak, Kerajaan Samudra Pasai, dan KerajaanAceh Darussalam.
Menurut Wilfred Cantwel smith, dalam bukunya Islam in Modern History, menyebutkan bahwa kejatuhan kota Konstantinopel ke dalam tangan Islam, sehingga pada awal abad ke-14 M muncullah di panggung dunia, Lima Besar Islam, sebagai pendukung kekuatan Islam, yaitu Maroko di Afrika Utara, Istambul di Asia Kecil, Isfahan di Timur Tengah, Agra di Anak Benua India, dan Aceh di Asia Tenggara. (Wilfred Cantwell smith, Islam in Modern History, London: Mentro Book, hlm. 45.)
Dari Aceh muncul beberapa tokoh keilmuan yang menandakan kemajuan keilmuan di kalangan umat Islam di Asia Tenggara. Beberapa ulama prestisius Aceh yabg terkenal dengan karya-karyanya adalah Nuruddim Ar-Raniri. Hamzah Fanshuri, yang mengarang Syair Perahu. Abdurrauf Singkel, Syamsuddin Sumatrani, dan masih banyak lagi.[8]
Dari Aceh, Islam juga berkembang ke berbagai wilayah Nusantara antara lain Islam berkembang ke Ampel, Demak, Cirebon, dan terus berkembang ke Sulawesi, Maluku dan Kalimantan.
Sumber sejarah tentang keusltanan ini adalah  Kitab Bustanul’ssalatin karya Nuruddin ar-Raniri tahun 1637, yang berisi tentang silsilah sultan-sultan Aceh; batu nisan makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan ini disebutkan Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 7 agustus 1530.
Aceh berkembang pesat ketika Pasai berada di ambang keruntuhan dan Malaka jatuh ke tangan Portugis. Hal itu disebabkan karena jatuhnya Malaka dan surutnya pengaruh Pasai membuat kapal-kapal yang lewat di perairan Selat Malaka singgah di pelabuhan Aceh. Pada tahun 1524 Pasai menjadi bagian dari Kesultanan Aceh. Kebesaran kesultanan ini tampak nyata dalam perlawanannya yang berani dan heroik tidak saja terhadap bangsa portugis tetapi juga terhadap penjajah Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh mencapai puncak kejayaan; wilayah kekuasaan meluas dari Deli sampai ke Semenanjung Malaya, Aceh cepat menjadi pelabuhan perdagangan yang besar, dibentuk tata pemerintahan yang rapi, secara militer sangat kuat dan disegani, dan terjalin hubungan dengan negara-negara lain (termasuk Eropa). Komoditi perdagangan cukup banyak, sebab Aceh kaya akan rempah-rempah dan bahan tambang (lada dan timah sangat kaya di Semenanjung Malaya). Jenis barang dagangan lainnya adalah beras, emas, perak, tekstil, porselen, dan minyak wangi. Pada masa pemerintahannya disusun sebuah undang-undang tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta Alam, yang ditulis dengan huruf Arab dan berbentuk syair Melayu.[9]
Islandar Muda juga sangat memperhatikan kestabilan dan ketahanan kerajaannya; maka, ia bentuk militer yang kuat sehingga secara militer Aceh dianggap kesultanan terkuat pada masa itu. Iskandar Muda juga terkenal piawai dalam urusan diplomasi, tidak saja dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara tetapi juga dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Utsmaniyah dan Perancis.
Meskipun kesultanan Aceh merupakan negara Islam, kehidupan masyarakatnya tetap bersifar feodal. Dalam tatanan masyarakatnya Aceh memiliki golongan bangsawan yang bergelar teuku, dan golongan ulama yang bergelar tengku; kedua golongan ini seringbersaing untuk berebut pengaruh dalam masyarakat.
Iskandar Muda digantikan Iskandar Tsani (1636-1641). Pada masa pemerintahannya hidup sastrawan besar bernama Nuruddin ar-Raniri yang dikenal dengan karyanya yang berjudul Bustanussalatin, yang berarti taman raja-raja;isinya adalah tentang adat istiadat Aceh dan ajaran tentang Islam.
Sepeninggal Iskandar Tsani, Aceh mengalami kekmunduran. Faktor utamanya adalah makin menguatnya Belanda di Pulau Sumatra dan Selat Malaka (ditandai jatuhnya Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu ke tangan Belanda). Pada saat yang sama tidak ada sultan yang semampu dan sehebat Iskandar Muda yang berjuang ketika Belanda menguasai Aceh pada 1904.
Faktor lainnya adalah karena adanya perebutan kekuasaan, terutama antara golongan bangsawan (teuku) dan golongan ulama (tengku); diantara para ulama sendiri pun terjadi pertikaian karena perbedaan aliran dalam agama (aliran Syi’ah da Ahlussunah wal Jama’ah).
Raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Aceh
1.      Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.      Sultan Salahudin (1528-1537)
3.      Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Kahar (1537-1568)
4.      Sultan Husein (1568-1575)
5.      Sultan Muda (1575)
6.      Sultan Sri Alalm (1575-1576)
7.      Sultan Zain Al Abidin (1576-1577)
8.      Sultan Alaudin Mansyur Syah (1577-1589)
9.      Sultan Ali Ri’yat Syah Putra (1589-1596)
10.  Sultan Alaudin Ri’yat Syah (1596-1604)
11.  Sultan Ali Ri’ayat Syah (1604-1607)
12.  Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
13.  Sultan Iskandar Tsani (1636-1641)
14.  Sultanah Tsafiatuddin Tajil Alam/ Putri Alam (1641-1675)
15.  Sultanah Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16.  Sultanah Zaqi sl-Din Inayat Syah (1678-1688)
17.  Sultanah Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
18.  Sultan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
19.  Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20.  Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21.  Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22.  Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23.  Sultan Ala’ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24.  Sultan Ala’ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25.  Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26.  Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27.  Sultan Sulaiman Syah 1785-1791)
28.  Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29.  Sultan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1759-1815)
30.  Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31.  Sultan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32.  Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
33.  Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
34.  Sultan Mansyur Syah (1857-1870)
35.  Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
36.  Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Peninggalan Kerajaan Aceh
1.      Masjid Raya Baiturrahman
Peninggalan kerajaan Aceh yang pertama serta paling terkenal uaitu Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar tahun 1612 M ini terletak di pusat kota Banda Aceh. Ketika agresi militer Belanda II, masjid ini pernah dibakar. Tetapi pada selang tahun 4 tahun setelahnya, Belanda membangunnya kembali untuk meredam amarah rakyat Aceh yangakan berperang merebut Syahid. Ketika bencana Tsunami menimpa Aceh pada 2004 lalu, masjid peninggalan sejarah Islam di Indonesia satu ini jadi pelindung untuk sebagian masyarakat Aceh. Kekokohan bangunannya tidak dapat digentarkan oleh sapuan ombak laut yang saat itu meluluhkan kota Banda Aceh.

2.      Taman Sari Gunongan
Merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Aceh. Taman ini dibangun pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Pahang sera Kerajan Johor di Semenanjung Malaka.
Sultan Iskandar Muda jatuh cinta pada Putri Boyongan dari Pahang dan menjadikannya permaisuri. Karena cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia untuk memenuhi keinginan Putri Boyongan untuk membangun sebuah Taman sari yang indah yang dilengkapi dengan Gunongan.

3.      Masjid Tua Indrapuri
Merupakan bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi. Bentuknya seperti candi, karena di masa lalu bangunan ini bekas benteng sekaligus candi kerajaan Hindu yang lebih dulu menguasai Aceh. Pada akhirnya bangunan yang awalnya candi ini berubah fungsi menjadi masjid pada masa Sultan Iskandar Muda.

4.      Benteng Indra Patra
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, benteng ini masih dipakai sebagai tempat pertahanan melawan penjajah portugis.


5.      Pinto Khop
Merupakan pintu gerbang yang berbentuk kubah. Tempat ini dibangun pada saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan menjadi pintu penghubunug antara istana serta taman putroe phang.

6.      Meriam Kesultanan Aceh
Meriam ini digunakan untuk mempertahankan Aceh dari serangan penjajah. Diproduksi oleh Aceh sendiri dari kuningan.

7.      Hikayat Prang Sabi
Merupakan suatu karya sastra yang berupa hikayat. Isinya membicarakan mengenai jihad. Ditulis oleh para ulama yang berisi ajakan, nasehat, serta seruan untuk terjun ke medan jihad untuk menegakkan agama Allah dari serangan kaum kafir. Bisa jadi, hikayat inilah yang menghidupkan semangat juang rakyat Aceh dahulu untuk mengusir penjajah.

8.      Makam Sultan Iskandar Muda
Makam ini terletak di Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, kota Banda Aceh. Ukiran sera pahatan kaligrafi pada batu nisannya sangat indah serta menjadi salah satu bukti sejarah masuknya Islam ke Indonesia.

9.      Uang Emas Kerajaan Aceh
Uang logam yang terbuat dari 70% emas murni lalu dicetak lengkap dengan nama-nama raja yang memerintah Aceh. Uang ini masih sering ditemukan serta menjadi harta karun yang sangat diburu oleh beberapa orang.











Islam pertama kali muncul dan berkembang di Nusantara dimulai dari daerah Sumatra. Didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Gujarat, yang menetap disana. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan Islam disana.
Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Perlak (sekarang Malaysia) yang kemudian jatuh dibawah kekuasaan kerajaan Samudra Pasai yang sedang berkembang pesat pada saat itu dan setelah Kerajaan Samudra Pasai runtuh lahirlah kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan Islam terbesar di Asia tenggara, kekuatan militernya tidak bisa diragukan lagi, oleh karena itu Kerajaan Aceh menjadi kerajaan yang sangat kuat. Kerajaan Aceh mempunyai peranan penting dalam persebaran islam di Nusantara, karena Aceh mengirimkan pendakwah-pendakwah untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru termasuk Jawa.
Kemudian pada akhirnya kerajaan-kerajaan islam itu hancur karena serangan dari penjajah dan menyisakan peninggalan-peninggalan yang masih ada sampai sekarang.













DAFTAR PUSTAKA


Muljana, Slamet. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS.
Hapsari, Ratna. 2014. SEJARAH Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Iskandar, Dodi. 1991. IPS SEJARAH SMP JILID 2. Bandung: Erlangga.
Wahid, Abbas. 2008. Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Alfian, Magdalia. 200. SEJARAH untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPS. :esis.
Munir, Samsul Amin. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.



[1] Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS) 2007, hlm. 130
[2] Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 193
[3] Dodi Iskandar, IPS SEJARAH SMP JILID 2, (Bandung, Erlangga) 1991, hlm. 9
[4] Abbas WahidKhazanah Sejarah Kebudayaan Islam, (Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri) 2008, hlm. 104
[5] Magdalia Alfian, SEJARAH untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPS, (:esis) 20, hlm. 89
[6] Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 196
[7] Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 199
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah) 2016, hlm. 333
[9] Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 201

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah kolonialisme dan imperialisme barat Afrika

SEJARAH ASAL USUL DESA KEJIWAN