Kerajaan Perlak
BAB I
Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya melalui kekuasaan politik . hal itu mendukung
semakin meluasnya ajaran Islam. Sebelum Islam dianut secara luas, perkembangan
Islam pada awalnya terjadi di kota-kota pelabuhan. Selanjutnya, secara
perlahan-lahan agama Islam mulai dianut oleh para penguasa pelabuhan lokal.
Islam telah memberikan identitas baru sebagai simbol perlawanan terhadap
penguasa pusat yang beragama Hindu di pedalaman. Berangkat dari kerajaan kecil
berbasis maritime kemudian agama Islam berkembang dan menyebar lebih luas
sampai ke pelosok negeri.
Dalam perkembangan selanjutnya, agama Islam
menempati posisi penting dalam percaturan sosial ekonomi dan sosial politik.
Kekuatan sosial politik makin mantap setelah munculnya kerajaan-kerajaan Islam
di Nusantara, seperti Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh
Darussalam. Kerajaan-kerajaan tersebut kemudian memberikan dukungan dalam usaha
penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia.
- Bagaimana Sejarah Islam di Perlak?
- Bagaimana Sejarah Islam di Samudra Pasai?
- Bagaimana Sejarah Islam di Aceh?
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Perlak
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Samudra Pasai
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Aceh
Pada
akhir abad ke-12, di Pantai timur Sumatra terdapat negara Islam bernama Perlak.
Didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Gujarat, yang menetap disana
sejak awal abad ke-12. Pendirinya adalah orang arab keturunan suku Quraisy.
Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak. dari
perkawinan itu, ia mendapat seorang putra bernama Sayid Abdul Aziz yang
kemudian menjadi sultan pertama negeri Kerajaan Perlak dan mendapat gelar Sultan Alaidin Syah (1161-1186).[1]
1.
Sultan Alaidin
Syah (1161-1186)
2.
Sultan Alaidin
Abdurrahim Syah Ibn Sayyid Abdul Aziz (1186-1210)
3.
Sultan Alaidin Sayyid Abbas Syah (1210-1236)
4.
Sultan Alaidin
Mughayat Syah (1236-1239)
5.
Sultah Mahdum Alaidin Abdul Kadir Syah (1239-1243)
6.
Sultan Mahdum Alaidin Muhammad Amin Syah (1243-1267)
7.
Sutltan Sultan Mahdum Abdul Malik Syah (1267-1275)
8.
Sultan Alaidin Malik Ibrahim Syah (1275-1296)
Perlak terkenal sebagai suatu
daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan
kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan
posisinya yang strategis membuat perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang
maju dan banyak disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab
dan Persia. Hal tersebut membuat berkembangnya islam di daerah ini, terutama
sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan
setempat.
Akhir dari Kerajaan Perlak
dikarenakan raja terakhir kerajaan Perlak menikahkan putrinya yaitu Putri
Ganggang dengan raja dari kerajaan Samudra Pasai, Sultan Malik as-Saleh.
Kemudian raja Perlak wafat dan Kerajaannya jatuh dan menjadi bagian dari
Kerajaan Pasai dibawah kepemimpinan Sultan Malik as-Saleh.
Bukti Peninggalan Kerajaan Perlak
Peninggalaln-peninggalan
sejarah yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mendukung dan membuktikan
mengenai keberadaan Kerajaan Perlak antara lain sebagai berikut:
1.
Mata uang Perlak
Mata uang Perlak ini diyakini merupakan mata uang tertua yang ditemukandi
Nusantara. Ada tiga jenis mata uang yang ditemukan, yakni yang pertama terbuat
dari emas (dirham) yang kedua dari Perak (kupang) yang ketiga dari tembaga atau
kuningan.
2.
Stempel Kerajaan
Stempel kerajaan ini bertuliskan huruf arab, model tulisan tenggelam yang
membentu kalimat ”Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512”.
3.
Makam Raja Benoa
Bukti lain yang memperkuat keberadaan Kerajaan Perlak adalah makam dari
Raja Benoa di tepi sungai Trenggulon, Batu nisan makam tersebut bertuliskan
huruf arab.
Samudra Pasai adalah kerajaan pertama di Indonesia yang
menganut agama Islam. Letaknya di pantai utara Sumatra (Aceh) dekat Perlak
(malaysia).
Kerajaan Samudra Pasai berdiri pada abad ke-13 dan didirikan
oleh Meurah Khair. Sejarah Kerajaan Samudra Pasai terdiri atas dua dinasti,
yaitu dinasti Meurah Khair dan Meurah Silu. Pada awalnya, raja-raja dari
dinasti Meurah Khair berkuasa di Samudra Pasai. Namun, Sultan Nazimudin al
Kamil tidak memiliki keturunan. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai dan Hikayat
Raja-raja Melayu, penguasa Samudra Pasai berikutnya adalah kekturunan dari
dinasti Meurah Silu. Raja pertama bergelar Sultan Malik as-Saleh merupakan
keturunan Raja Perlak, yang sekarang dikenal dengan Malaysia.
Sumber sejarah yang menyebutkan tentang keberadaan
kerajaan ini antara lain:[2]
a. Sejarah Dinasti Yuan (1282), di Cina tatkala Samudera
Pasai mengirimkan utusan ke China. Keberadaan kerajaan ini diperkuat oleh
keterangan Marco Polo.[3]
b. Berita Marco Polo (1292), menyebutkan saat singgah di
Sumatra mendapati penduduk setempat di sekitar Perlak beragama Islam. Ia juga
mengagumi kemajuan yang dicapai oleh Samudra Pasai.
c. Berita Ibnu Batutah (1304-1368), musafir dari Maroko.
Dalam kunjungan pertamamnya tahun 1326, ia menuturkan masyarakat pedagang di
kerajaan ini sebagian besar beragama Islam. Saat singgah kembali pada 1345
(pada masa kekuasaan Al-Zahir), ia menyebutkan kerajaan ini sebagai sebuah
pelabuhan yang ramai dan banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari Cina, India,
serta dari Nusantara sendiri. ”Sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhan
yang besar dan indah,” demikian kutipan dari catatan perjalanan berjudul
”Tuhfat Al-Nazha”. Ia juga menyebut Samudra Pasai sebagai pusat studi Islam di
Asia Tenggara.
d. Hikakyat Raja-raja Pasai, merupakan karya berbahasa
Melayu yang bercerita tentang kerajaan Islam (Kesultanan) pertama di Nusantara,
Samudra Pasai. Menurut Dr. Russel Jones, hikayat ini ditulis pada abad ke-14.
Hikayat ini mencakup masa dari berdirinya Kesultanan Samudra Pasaisampai
ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit.
Menurut Catatan Batutah, aktifitas perdagangan di Pasai
berkembang sangat pesat. Samudra Pasai menjelma menjadi pusat perdagangan
internasional: ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai benua seperti Asia
(Cina, India, Malaka) Afrika, dan Eropa. Selain dengan negara-negara di luar
Nusantara, Pasai juga menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Nusantara
(Jawa), yang oleh kesultanan diberi keistimewaan: bebas pajak. Para saudagar
Jawa umumnya menukar beras dengan lada.
Komoditas utama Samudra Pasai adalah lada, kapur barus,
dan emas. Untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal mata uang
emas yang disebut dirham.
Kemajuan perekonomian membawa dampak pada kehidupan sosial
masyarakat. Kehidupan sosial Pasai diatur menurut aturan dan
hukum Islam. Mereka hidup saling menghormati sesuai dengan ajaran agama Islam. Hubungan antara sultan dan rakyat pun berjalan sangat
baik. Dalam menjalankan pemerintahan, sultan didampingi para ulama, yang bekerja
sebagai penasehat.
Dalam pelaksanaanya banyak terdapat kesamaan dengan
kehidupan sosial-masyarakat di Mesir dan Arab. Kemiungkinan karena pengaruh
Sultan Nazimuddin al-Kamil yang sangat besar membentuk struktur sosial-budaya
Samudra Pasai
Sebagai kerajaan Islam pertama, Pasai juga memiliki
kontribusi besar dalam pengembangan dan penyebaran islam di Nusantara. Pasai
banyak mengirimkan ulama dan mubaligh untuk menyebarkan Islam di Jawa. Banyak
juga ulama Jawa yang menimba ilmu agama di Pasai; salah satunya adalah Syekh
Yusuf, seorang sufidan ulama penyebar Islam di Afrika Selatan. Konon, Sunan
Kalijaga dan Sunan Gunung Jati memiliki hubungan keluarga dengan sultan-sultan
di Samudra Pasai.
Pada awal abad ke-16 terjadi beberapa pemberontakan
internal di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Diceritakan, sultan di
Pasai meminta bantuan Malaka untuk meredam pergolakan itu. Pasai sendiri
akhirnya runtuh setelah ditaklukkan bangsa Portugis tahun 1521 yang sebelumnya
telah menaklukkan Malaka tahun 1511. Pada 1524 wilayah Pasai menjadi bagian
dari Kesultanan Aceh. Sejak saat itulah riwayat Pasai berakhir.
Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Samudera Pasai
Adapun raja
yang pernah memerintah di Kerajaan Samudra Pasai adalah sebagai berikut.[4]
1. Sultan Malik Azh-Zhahir
(1297-1326 M)
2. Sultan Mahmud Malik Azh-Zahir (1326-1345 M)
3. Sultan Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
4. Sultan Ahmad Malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
5. Sultan Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir (1383-1405 M)
6. Sultan Nahrasiyah (1405 M)
7. Sultan Abu Zaid Malik Azh-Zhahir (1455 M)
8. Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477 M)
9. Sultan Zainal Abidin (1477-1500 M)
10. Sultan Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513 M)
11. Sultan Zainal Abidin (1513-1524 M)
Pada masa pemerintahannya, kekuasaan kerajaan meliputi
daerah Kedah di Semenanjung Malaya (buktinya terdapat pada sebuah batu nisan di
Menyetujuh Pasai, Kedah). Sultan Zainal Abidin sangat aktif menyebarkan
pengaruh Islam ke Pulau Jawa dan Sulawesi dengan mengirim ahli-ahli dakwah,
seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak[5]
Pada awal abad
ke-16 terjadi beberapa pembeerontakan internal di Pasai yang mengakibatkan
perang saudara. Diceritakan, sultan Pasai meminta bantuan Malaka untuk meredam
pergolakan itu pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan bangsa
portugis tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukkan Malak pada tahun 1511.Kerajaan
Samudra Pasai berakhir pada tahun 1524 M, ketika jatuh oleh kerajaan Aceh
Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[6]
Peninggalan-peninggalan Samudra Pasai.
1.
Cakra
Donya
Adalah sebuah lonceng
yang bisa dibilang keramat. Cakra Donya ini merupakan lonceng yang berupa mahkota
besi berbentuk stupa buatan Cina tahun 1409 M. Lonceng ini memiliki tinggi 125
cm dan lebar 75 cm. Cakra sendiri memiliki arti poros kereta, lambang-lambang
Wishnu, matahari atau cakrawala. Sementara Donya berarti dunia.
Pada bagian
luar Cakra Donya terdapat sebuah hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Arab
dan Cina. Aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus. Sedangkan
aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Tjo (Sultang Sing Fa yang
sudah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5).
2.
Naskah
Surat Sultan Zainal Abidin
Merupakan
surat yang ditulis oleh Sultan Zainal Abidin sebelum meninggal pada tahun 1518
M. Surat ini ditunjukan kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama Wakil
Raja Portugis di India.
Surat ini
ditulis menggunakan bahasa arab, isinya menjelaskan mengenai keadaan Kesultanan
Samudera Pasai pada abad ke-16. Selain itu, dalam surat ini juga menggambarkan
tentang keadaan terakhir yang dialami Kesultanan Samudra Pasai setelah bangsa
portugis berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 M.
Nama-nama
kerajaan atau negeri yang memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Samudra
Pasai juga tertulis di dalamnya. Sehingga bisa diketahui pengejaan serta
nama-nama kerajaan atau negeri tersebut. Adapun kerajaan atau negeri yang
tertera dalam surat tersebut antara lain Negeri Mulaqat (Malaka) dan Fariyaman
(Pariman).
3.
Stempel
Kerajaan
Stempel ini
diduga milik Sultan Muhamad Malikul Zahir yang merupakan Sultan kedua Kerajaan
samudra Pasai. Dugaan tersebut dilontarkan oleh tim peneliti sejarah kerajaan
Islam. Stempel ini ditemukan di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten
Aceh Utara.
Stempel ini berukuran 2x1 centimter,
diperkirakan terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Adapun kondisi stempel ketika
ditemukan sudah patah pada bagian gagangnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
stempel ini sudah digunakan hingga masa pemerintahan pemimpin terakhir kerajaan
Samudera Pasai, yakni Sultan ZainalAbidin.
Lokasi dan sumber sejarah
Kesultanan
Aceh (1507-1903), yang berpusat di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) didirikan oleh
Ali Mughayat Syah tahun 1496, diatas
bekas wilayah kesultanan Lamuri yang ditaklukkan Mughayat Syah. Meski demikian, awalnya Aceh merupakan bagian atau
semacam kerajaan bawahan Kesultanan Pedir. Karena itu, penentuan awal Aceh
sebagai sebuah kesultanan adalah ketika Mughayat Syah dilantik menjadi sultan
pada 1507, setelah berhasil menaklukkan pedir serta kesultanan-kesultanan lain
sekitarnya seperti Daya, Lidie, dan Nakur. Keempat kesultanan ini juga dibangun
diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang pernah ada sebelumnya,
seperti Indra Purba, Indra Purwa dan Indrapura.[7]
Aceh merupakan salah satu dari kerajaan Islam yang besar,
terutama karena kemampuannya mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
komitmennya menentang hegemoni bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur
dan sistematis, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga
kemampuan menjalin hubungan dengan negara-negara lain.
Aceh mewakili
pusat dunia Islam di Asia Tenggara. Pada masa kejayaannya Aceh merupakan pusat
peradaban di wilayah dunia Islam bagian timur, yaitu Asia Tenggara. Bahkan Aceh
merupakan pintu transmisi jalur perjalanan penyebaran agama Islam ke seluruh
wilayah Asia Tenggara. Karena itu Aceh terkenal dengan sebutan Serambi
Mekah.
Aceh merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke seluruh
wilayan Nusantara. Di Aceh pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang pertama,
yaitu Kerajaan Peurlak, Kerajaan Samudra Pasai, dan KerajaanAceh Darussalam.
Menurut Wilfred
Cantwel smith, dalam bukunya Islam in Modern History, menyebutkan bahwa
kejatuhan kota Konstantinopel ke dalam tangan Islam, sehingga pada awal abad
ke-14 M muncullah di panggung dunia, Lima Besar Islam, sebagai pendukung
kekuatan Islam, yaitu Maroko di Afrika Utara, Istambul di Asia Kecil, Isfahan
di Timur Tengah, Agra di Anak Benua India, dan Aceh di Asia Tenggara. (Wilfred Cantwell smith, Islam in
Modern History, London: Mentro Book, hlm. 45.)
Dari Aceh
muncul beberapa tokoh keilmuan yang menandakan kemajuan keilmuan di kalangan
umat Islam di Asia Tenggara. Beberapa ulama prestisius Aceh yabg terkenal
dengan karya-karyanya adalah Nuruddim Ar-Raniri. Hamzah Fanshuri, yang
mengarang Syair Perahu. Abdurrauf Singkel, Syamsuddin Sumatrani, dan masih
banyak lagi.[8]
Dari Aceh,
Islam juga berkembang ke berbagai wilayah Nusantara antara lain Islam berkembang ke Ampel, Demak, Cirebon, dan
terus berkembang ke Sulawesi, Maluku dan Kalimantan.
Sumber sejarah tentang keusltanan ini adalah Kitab Bustanul’ssalatin karya Nuruddin
ar-Raniri tahun 1637, yang berisi tentang silsilah sultan-sultan Aceh; batu
nisan makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan ini disebutkan Sultan Ali
Mughayat Syah wafat pada 7 agustus 1530.
Aceh berkembang pesat ketika Pasai berada di ambang
keruntuhan dan Malaka jatuh ke tangan Portugis. Hal itu disebabkan karena
jatuhnya Malaka dan surutnya pengaruh Pasai membuat kapal-kapal yang lewat di
perairan Selat Malaka singgah di pelabuhan Aceh. Pada tahun 1524 Pasai menjadi
bagian dari Kesultanan Aceh. Kebesaran kesultanan ini tampak nyata dalam
perlawanannya yang berani dan heroik tidak saja terhadap bangsa portugis tetapi
juga terhadap penjajah Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
Aceh mencapai puncak kejayaan; wilayah kekuasaan meluas dari Deli sampai ke
Semenanjung Malaya, Aceh cepat menjadi pelabuhan perdagangan yang besar,
dibentuk tata pemerintahan yang rapi, secara militer sangat kuat dan disegani,
dan terjalin hubungan dengan negara-negara lain (termasuk Eropa). Komoditi
perdagangan cukup banyak, sebab Aceh kaya akan rempah-rempah dan bahan tambang
(lada dan timah sangat kaya di Semenanjung Malaya). Jenis barang dagangan
lainnya adalah beras, emas, perak, tekstil, porselen, dan minyak wangi. Pada
masa pemerintahannya disusun sebuah undang-undang tentang tata pemerintahan
yang diberi nama Adat Makuta Alam, yang ditulis dengan huruf Arab dan
berbentuk syair Melayu.[9]
Islandar Muda juga sangat memperhatikan kestabilan dan
ketahanan kerajaannya; maka, ia bentuk militer yang kuat sehingga secara
militer Aceh dianggap kesultanan terkuat pada masa itu. Iskandar Muda juga
terkenal piawai dalam urusan diplomasi, tidak saja dengan kerajaan-kerajaan
lain di Nusantara tetapi juga dengan negara-negara Eropa seperti Inggris,
Belanda, Utsmaniyah dan Perancis.
Meskipun kesultanan Aceh merupakan negara Islam,
kehidupan masyarakatnya tetap bersifar feodal. Dalam tatanan masyarakatnya Aceh
memiliki golongan bangsawan yang bergelar teuku, dan golongan ulama yang
bergelar tengku; kedua golongan ini seringbersaing untuk berebut pengaruh dalam
masyarakat.
Iskandar Muda digantikan Iskandar Tsani (1636-1641). Pada
masa pemerintahannya hidup sastrawan besar bernama Nuruddin ar-Raniri yang
dikenal dengan karyanya yang berjudul Bustanussalatin, yang berarti taman
raja-raja;isinya adalah tentang adat istiadat Aceh dan ajaran tentang Islam.
Sepeninggal Iskandar Tsani, Aceh mengalami kekmunduran.
Faktor utamanya adalah makin menguatnya Belanda di Pulau Sumatra dan Selat
Malaka (ditandai jatuhnya Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli
serta Bengkulu ke tangan Belanda). Pada saat yang sama tidak ada sultan yang
semampu dan sehebat Iskandar Muda yang berjuang ketika Belanda menguasai Aceh
pada 1904.
Faktor lainnya adalah karena adanya perebutan kekuasaan, terutama
antara golongan bangsawan (teuku) dan golongan ulama (tengku); diantara para
ulama sendiri pun terjadi pertikaian karena perbedaan aliran dalam agama
(aliran Syi’ah da Ahlussunah wal Jama’ah).
Raja-raja
yang berkuasa di Kerajaan Aceh
1.
Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.
Sultan Salahudin (1528-1537)
3.
Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Kahar (1537-1568)
4.
Sultan Husein (1568-1575)
5.
Sultan Muda (1575)
6.
Sultan Sri Alalm (1575-1576)
7.
Sultan Zain Al Abidin (1576-1577)
8.
Sultan Alaudin Mansyur Syah (1577-1589)
9.
Sultan Ali Ri’yat Syah Putra (1589-1596)
10. Sultan Alaudin Ri’yat Syah
(1596-1604)
11. Sultan Ali Ri’ayat Syah
(1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda
(1607-1636)
13. Sultan Iskandar Tsani
(1636-1641)
14. Sultanah Tsafiatuddin Tajil
Alam/ Putri Alam (1641-1675)
15. Sultanah Naqi al-Din Nur Alam
(1675-1678)
16. Sultanah Zaqi sl-Din Inayat
Syah (1678-1688)
17. Sultanah Kamalat Sayah Zinat
al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif
Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif
Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr
al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin
al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala’ al-Din Ahmad Syah
(1727-1735)
24. Sultan Ala’ al-Din Johan Syah
(1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah
1785-1791)
28. Sultan Alaudin Muhammad Daud
Syah (1791-1795)
29. Sultan Ala al-Din Jauhar Alam
Syah (1759-1815)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam
(1815-1818)
31. Sultan Ala al-Din Jauhar Alam
Syah (1818-1824)
32. Sultan Muhammad Syah
(1824-1838)
33. Sultan Sulaiman Syah
(1838-1857)
34. Sultan Mansyur Syah
(1857-1870)
35. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
36. Sultan Muhammad Daud Syah
(1874-1903)
Peninggalan
Kerajaan Aceh
1.
Masjid Raya Baiturrahman
Peninggalan kerajaan Aceh yang pertama serta paling terkenal uaitu Masjid
Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar tahun
1612 M ini terletak di pusat kota Banda Aceh. Ketika agresi militer Belanda II,
masjid ini pernah dibakar. Tetapi pada selang tahun 4 tahun setelahnya, Belanda
membangunnya kembali untuk meredam amarah rakyat Aceh yangakan berperang
merebut Syahid. Ketika bencana Tsunami menimpa Aceh pada 2004 lalu, masjid
peninggalan sejarah Islam di Indonesia satu ini jadi pelindung untuk sebagian
masyarakat Aceh. Kekokohan bangunannya tidak dapat digentarkan oleh sapuan
ombak laut yang saat itu meluluhkan kota Banda Aceh.
2.
Taman Sari Gunongan
Merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Aceh. Taman ini dibangun pada
saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda berhasil
menaklukkan Kerajaan Pahang sera Kerajan Johor di Semenanjung Malaka.
Sultan Iskandar Muda jatuh cinta pada Putri Boyongan dari Pahang dan
menjadikannya permaisuri. Karena cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar
Muda bersedia untuk memenuhi keinginan Putri Boyongan untuk membangun sebuah
Taman sari yang indah yang dilengkapi dengan Gunongan.
3.
Masjid Tua Indrapuri
Merupakan bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi. Bentuknya seperti
candi, karena di masa lalu bangunan ini bekas benteng sekaligus candi kerajaan
Hindu yang lebih dulu menguasai Aceh. Pada akhirnya bangunan yang awalnya candi
ini berubah fungsi menjadi masjid pada masa Sultan Iskandar Muda.
4.
Benteng Indra Patra
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, benteng ini masih dipakai
sebagai tempat pertahanan melawan penjajah portugis.
5.
Pinto Khop
Merupakan pintu gerbang yang berbentuk kubah. Tempat ini dibangun pada
saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan menjadi pintu penghubunug antara
istana serta taman putroe phang.
6.
Meriam Kesultanan Aceh
Meriam ini digunakan untuk mempertahankan Aceh dari serangan penjajah.
Diproduksi oleh Aceh sendiri dari kuningan.
7.
Hikayat Prang Sabi
Merupakan suatu karya sastra yang berupa hikayat. Isinya membicarakan
mengenai jihad. Ditulis oleh para ulama yang berisi ajakan, nasehat, serta
seruan untuk terjun ke medan jihad untuk menegakkan agama Allah dari serangan
kaum kafir. Bisa jadi, hikayat inilah yang menghidupkan semangat juang rakyat
Aceh dahulu untuk mengusir penjajah.
8.
Makam Sultan Iskandar Muda
Makam ini terletak di Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, kota
Banda Aceh. Ukiran sera pahatan kaligrafi pada batu nisannya sangat indah serta
menjadi salah satu bukti sejarah masuknya Islam ke Indonesia.
9.
Uang Emas Kerajaan Aceh
Uang logam yang terbuat dari 70% emas murni lalu dicetak lengkap dengan
nama-nama raja yang memerintah Aceh. Uang ini masih sering ditemukan serta
menjadi harta karun yang sangat diburu oleh beberapa orang.
Islam pertama kali muncul dan berkembang
di Nusantara dimulai dari daerah Sumatra. Didirikan
oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Gujarat, yang menetap disana. Kemudian
lahirlah kerajaan-kerajaan Islam disana.
Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan
Perlak (sekarang Malaysia) yang kemudian jatuh dibawah kekuasaan kerajaan
Samudra Pasai yang sedang berkembang pesat pada saat itu dan setelah Kerajaan
Samudra Pasai runtuh lahirlah kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan Islam
terbesar di Asia tenggara, kekuatan militernya tidak bisa diragukan lagi, oleh
karena itu Kerajaan Aceh menjadi kerajaan yang sangat kuat. Kerajaan Aceh
mempunyai peranan penting dalam persebaran islam di Nusantara, karena Aceh
mengirimkan pendakwah-pendakwah untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru
termasuk Jawa.
Kemudian pada akhirnya kerajaan-kerajaan islam itu
hancur karena serangan dari penjajah dan menyisakan peninggalan-peninggalan
yang masih ada sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Muljana, Slamet. 2007. Runtuhnya Kerajaan
Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta:
LkiS.
Hapsari, Ratna. 2014. SEJARAH Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Iskandar, Dodi. 1991. IPS
SEJARAH SMP JILID 2. Bandung:
Erlangga.
Wahid, Abbas. 2008. Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam. Surakarta: Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri.
Alfian, Magdalia. 200. SEJARAH untuk SMA dan
MA Kelas XI Program IPS. :esis.
Munir, Samsul Amin. 2016. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Amzah.
[1] Prof. Dr. Slamet
Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara (Yogyakarta: LKiS) 2007, hlm. 130
[2]
Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 193
[3]
Dodi Iskandar, IPS SEJARAH SMP JILID 2, (Bandung, Erlangga) 1991, hlm. 9
[4]
Abbas WahidKhazanah Sejarah Kebudayaan Islam, (Surakarta: Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri) 2008, hlm. 104
[5]
Magdalia Alfian, SEJARAH untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPS, (:esis) 20, hlm.
89
[8]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah) 2016, hlm. 333
BAB I
Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya melalui kekuasaan politik . hal itu mendukung
semakin meluasnya ajaran Islam. Sebelum Islam dianut secara luas, perkembangan
Islam pada awalnya terjadi di kota-kota pelabuhan. Selanjutnya, secara
perlahan-lahan agama Islam mulai dianut oleh para penguasa pelabuhan lokal.
Islam telah memberikan identitas baru sebagai simbol perlawanan terhadap
penguasa pusat yang beragama Hindu di pedalaman. Berangkat dari kerajaan kecil
berbasis maritime kemudian agama Islam berkembang dan menyebar lebih luas
sampai ke pelosok negeri.
Dalam perkembangan selanjutnya, agama Islam
menempati posisi penting dalam percaturan sosial ekonomi dan sosial politik.
Kekuatan sosial politik makin mantap setelah munculnya kerajaan-kerajaan Islam
di Nusantara, seperti Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh
Darussalam. Kerajaan-kerajaan tersebut kemudian memberikan dukungan dalam usaha
penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia.
- Bagaimana Sejarah Islam di Perlak?
- Bagaimana Sejarah Islam di Samudra Pasai?
- Bagaimana Sejarah Islam di Aceh?
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Perlak
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Samudra Pasai
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah Islam di Aceh
Pada
akhir abad ke-12, di Pantai timur Sumatra terdapat negara Islam bernama Perlak.
Didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Gujarat, yang menetap disana
sejak awal abad ke-12. Pendirinya adalah orang arab keturunan suku Quraisy.
Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak. dari
perkawinan itu, ia mendapat seorang putra bernama Sayid Abdul Aziz yang
kemudian menjadi sultan pertama negeri Kerajaan Perlak dan mendapat gelar Sultan Alaidin Syah (1161-1186).[1]
1.
Sultan Alaidin
Syah (1161-1186)
2.
Sultan Alaidin
Abdurrahim Syah Ibn Sayyid Abdul Aziz (1186-1210)
3.
Sultan Alaidin Sayyid Abbas Syah (1210-1236)
4.
Sultan Alaidin
Mughayat Syah (1236-1239)
5.
Sultah Mahdum Alaidin Abdul Kadir Syah (1239-1243)
6.
Sultan Mahdum Alaidin Muhammad Amin Syah (1243-1267)
7.
Sutltan Sultan Mahdum Abdul Malik Syah (1267-1275)
8.
Sultan Alaidin Malik Ibrahim Syah (1275-1296)
Perlak terkenal sebagai suatu
daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan
kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan
posisinya yang strategis membuat perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang
maju dan banyak disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab
dan Persia. Hal tersebut membuat berkembangnya islam di daerah ini, terutama
sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan
setempat.
Akhir dari Kerajaan Perlak
dikarenakan raja terakhir kerajaan Perlak menikahkan putrinya yaitu Putri
Ganggang dengan raja dari kerajaan Samudra Pasai, Sultan Malik as-Saleh.
Kemudian raja Perlak wafat dan Kerajaannya jatuh dan menjadi bagian dari
Kerajaan Pasai dibawah kepemimpinan Sultan Malik as-Saleh.
Bukti Peninggalan Kerajaan Perlak
Peninggalaln-peninggalan
sejarah yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mendukung dan membuktikan
mengenai keberadaan Kerajaan Perlak antara lain sebagai berikut:
1.
Mata uang Perlak
Mata uang Perlak ini diyakini merupakan mata uang tertua yang ditemukandi
Nusantara. Ada tiga jenis mata uang yang ditemukan, yakni yang pertama terbuat
dari emas (dirham) yang kedua dari Perak (kupang) yang ketiga dari tembaga atau
kuningan.
2.
Stempel Kerajaan
Stempel kerajaan ini bertuliskan huruf arab, model tulisan tenggelam yang
membentu kalimat ”Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Sanah 512”.
3.
Makam Raja Benoa
Bukti lain yang memperkuat keberadaan Kerajaan Perlak adalah makam dari
Raja Benoa di tepi sungai Trenggulon, Batu nisan makam tersebut bertuliskan
huruf arab.
Samudra Pasai adalah kerajaan pertama di Indonesia yang
menganut agama Islam. Letaknya di pantai utara Sumatra (Aceh) dekat Perlak
(malaysia).
Kerajaan Samudra Pasai berdiri pada abad ke-13 dan didirikan
oleh Meurah Khair. Sejarah Kerajaan Samudra Pasai terdiri atas dua dinasti,
yaitu dinasti Meurah Khair dan Meurah Silu. Pada awalnya, raja-raja dari
dinasti Meurah Khair berkuasa di Samudra Pasai. Namun, Sultan Nazimudin al
Kamil tidak memiliki keturunan. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai dan Hikayat
Raja-raja Melayu, penguasa Samudra Pasai berikutnya adalah kekturunan dari
dinasti Meurah Silu. Raja pertama bergelar Sultan Malik as-Saleh merupakan
keturunan Raja Perlak, yang sekarang dikenal dengan Malaysia.
Sumber sejarah yang menyebutkan tentang keberadaan
kerajaan ini antara lain:[2]
a. Sejarah Dinasti Yuan (1282), di Cina tatkala Samudera
Pasai mengirimkan utusan ke China. Keberadaan kerajaan ini diperkuat oleh
keterangan Marco Polo.[3]
b. Berita Marco Polo (1292), menyebutkan saat singgah di
Sumatra mendapati penduduk setempat di sekitar Perlak beragama Islam. Ia juga
mengagumi kemajuan yang dicapai oleh Samudra Pasai.
c. Berita Ibnu Batutah (1304-1368), musafir dari Maroko.
Dalam kunjungan pertamamnya tahun 1326, ia menuturkan masyarakat pedagang di
kerajaan ini sebagian besar beragama Islam. Saat singgah kembali pada 1345
(pada masa kekuasaan Al-Zahir), ia menyebutkan kerajaan ini sebagai sebuah
pelabuhan yang ramai dan banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari Cina, India,
serta dari Nusantara sendiri. ”Sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhan
yang besar dan indah,” demikian kutipan dari catatan perjalanan berjudul
”Tuhfat Al-Nazha”. Ia juga menyebut Samudra Pasai sebagai pusat studi Islam di
Asia Tenggara.
d. Hikakyat Raja-raja Pasai, merupakan karya berbahasa
Melayu yang bercerita tentang kerajaan Islam (Kesultanan) pertama di Nusantara,
Samudra Pasai. Menurut Dr. Russel Jones, hikayat ini ditulis pada abad ke-14.
Hikayat ini mencakup masa dari berdirinya Kesultanan Samudra Pasaisampai
ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit.
Menurut Catatan Batutah, aktifitas perdagangan di Pasai
berkembang sangat pesat. Samudra Pasai menjelma menjadi pusat perdagangan
internasional: ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai benua seperti Asia
(Cina, India, Malaka) Afrika, dan Eropa. Selain dengan negara-negara di luar
Nusantara, Pasai juga menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Nusantara
(Jawa), yang oleh kesultanan diberi keistimewaan: bebas pajak. Para saudagar
Jawa umumnya menukar beras dengan lada.
Komoditas utama Samudra Pasai adalah lada, kapur barus,
dan emas. Untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal mata uang
emas yang disebut dirham.
Kemajuan perekonomian membawa dampak pada kehidupan sosial
masyarakat. Kehidupan sosial Pasai diatur menurut aturan dan
hukum Islam. Mereka hidup saling menghormati sesuai dengan ajaran agama Islam. Hubungan antara sultan dan rakyat pun berjalan sangat
baik. Dalam menjalankan pemerintahan, sultan didampingi para ulama, yang bekerja
sebagai penasehat.
Dalam pelaksanaanya banyak terdapat kesamaan dengan
kehidupan sosial-masyarakat di Mesir dan Arab. Kemiungkinan karena pengaruh
Sultan Nazimuddin al-Kamil yang sangat besar membentuk struktur sosial-budaya
Samudra Pasai
Sebagai kerajaan Islam pertama, Pasai juga memiliki
kontribusi besar dalam pengembangan dan penyebaran islam di Nusantara. Pasai
banyak mengirimkan ulama dan mubaligh untuk menyebarkan Islam di Jawa. Banyak
juga ulama Jawa yang menimba ilmu agama di Pasai; salah satunya adalah Syekh
Yusuf, seorang sufidan ulama penyebar Islam di Afrika Selatan. Konon, Sunan
Kalijaga dan Sunan Gunung Jati memiliki hubungan keluarga dengan sultan-sultan
di Samudra Pasai.
Pada awal abad ke-16 terjadi beberapa pemberontakan
internal di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Diceritakan, sultan di
Pasai meminta bantuan Malaka untuk meredam pergolakan itu. Pasai sendiri
akhirnya runtuh setelah ditaklukkan bangsa Portugis tahun 1521 yang sebelumnya
telah menaklukkan Malaka tahun 1511. Pada 1524 wilayah Pasai menjadi bagian
dari Kesultanan Aceh. Sejak saat itulah riwayat Pasai berakhir.
Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Samudera Pasai
Adapun raja
yang pernah memerintah di Kerajaan Samudra Pasai adalah sebagai berikut.[4]
1. Sultan Malik Azh-Zhahir
(1297-1326 M)
2. Sultan Mahmud Malik Azh-Zahir (1326-1345 M)
3. Sultan Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
4. Sultan Ahmad Malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
5. Sultan Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir (1383-1405 M)
6. Sultan Nahrasiyah (1405 M)
7. Sultan Abu Zaid Malik Azh-Zhahir (1455 M)
8. Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477 M)
9. Sultan Zainal Abidin (1477-1500 M)
10. Sultan Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513 M)
11. Sultan Zainal Abidin (1513-1524 M)
Pada masa pemerintahannya, kekuasaan kerajaan meliputi
daerah Kedah di Semenanjung Malaya (buktinya terdapat pada sebuah batu nisan di
Menyetujuh Pasai, Kedah). Sultan Zainal Abidin sangat aktif menyebarkan
pengaruh Islam ke Pulau Jawa dan Sulawesi dengan mengirim ahli-ahli dakwah,
seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak[5]
Pada awal abad
ke-16 terjadi beberapa pembeerontakan internal di Pasai yang mengakibatkan
perang saudara. Diceritakan, sultan Pasai meminta bantuan Malaka untuk meredam
pergolakan itu pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan bangsa
portugis tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukkan Malak pada tahun 1511.Kerajaan
Samudra Pasai berakhir pada tahun 1524 M, ketika jatuh oleh kerajaan Aceh
Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[6]
Peninggalan-peninggalan Samudra Pasai.
1.
Cakra
Donya
Adalah sebuah lonceng
yang bisa dibilang keramat. Cakra Donya ini merupakan lonceng yang berupa mahkota
besi berbentuk stupa buatan Cina tahun 1409 M. Lonceng ini memiliki tinggi 125
cm dan lebar 75 cm. Cakra sendiri memiliki arti poros kereta, lambang-lambang
Wishnu, matahari atau cakrawala. Sementara Donya berarti dunia.
Pada bagian
luar Cakra Donya terdapat sebuah hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Arab
dan Cina. Aksara Arab tidak dapat dibaca lagi karena telah aus. Sedangkan
aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Tjo (Sultang Sing Fa yang
sudah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5).
2.
Naskah
Surat Sultan Zainal Abidin
Merupakan
surat yang ditulis oleh Sultan Zainal Abidin sebelum meninggal pada tahun 1518
M. Surat ini ditunjukan kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama Wakil
Raja Portugis di India.
Surat ini
ditulis menggunakan bahasa arab, isinya menjelaskan mengenai keadaan Kesultanan
Samudera Pasai pada abad ke-16. Selain itu, dalam surat ini juga menggambarkan
tentang keadaan terakhir yang dialami Kesultanan Samudra Pasai setelah bangsa
portugis berhasil menaklukan Malaka pada tahun 1511 M.
Nama-nama
kerajaan atau negeri yang memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Samudra
Pasai juga tertulis di dalamnya. Sehingga bisa diketahui pengejaan serta
nama-nama kerajaan atau negeri tersebut. Adapun kerajaan atau negeri yang
tertera dalam surat tersebut antara lain Negeri Mulaqat (Malaka) dan Fariyaman
(Pariman).
3.
Stempel
Kerajaan
Stempel ini
diduga milik Sultan Muhamad Malikul Zahir yang merupakan Sultan kedua Kerajaan
samudra Pasai. Dugaan tersebut dilontarkan oleh tim peneliti sejarah kerajaan
Islam. Stempel ini ditemukan di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten
Aceh Utara.
Stempel ini berukuran 2x1 centimter,
diperkirakan terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Adapun kondisi stempel ketika
ditemukan sudah patah pada bagian gagangnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
stempel ini sudah digunakan hingga masa pemerintahan pemimpin terakhir kerajaan
Samudera Pasai, yakni Sultan ZainalAbidin.
Lokasi dan sumber sejarah
Kesultanan
Aceh (1507-1903), yang berpusat di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) didirikan oleh
Ali Mughayat Syah tahun 1496, diatas
bekas wilayah kesultanan Lamuri yang ditaklukkan Mughayat Syah. Meski demikian, awalnya Aceh merupakan bagian atau
semacam kerajaan bawahan Kesultanan Pedir. Karena itu, penentuan awal Aceh
sebagai sebuah kesultanan adalah ketika Mughayat Syah dilantik menjadi sultan
pada 1507, setelah berhasil menaklukkan pedir serta kesultanan-kesultanan lain
sekitarnya seperti Daya, Lidie, dan Nakur. Keempat kesultanan ini juga dibangun
diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang pernah ada sebelumnya,
seperti Indra Purba, Indra Purwa dan Indrapura.[7]
Aceh merupakan salah satu dari kerajaan Islam yang besar,
terutama karena kemampuannya mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
komitmennya menentang hegemoni bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur
dan sistematis, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga
kemampuan menjalin hubungan dengan negara-negara lain.
Aceh mewakili
pusat dunia Islam di Asia Tenggara. Pada masa kejayaannya Aceh merupakan pusat
peradaban di wilayah dunia Islam bagian timur, yaitu Asia Tenggara. Bahkan Aceh
merupakan pintu transmisi jalur perjalanan penyebaran agama Islam ke seluruh
wilayah Asia Tenggara. Karena itu Aceh terkenal dengan sebutan Serambi
Mekah.
Aceh merupakan pintu gerbang masuknya Islam ke seluruh
wilayan Nusantara. Di Aceh pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang pertama,
yaitu Kerajaan Peurlak, Kerajaan Samudra Pasai, dan KerajaanAceh Darussalam.
Menurut Wilfred
Cantwel smith, dalam bukunya Islam in Modern History, menyebutkan bahwa
kejatuhan kota Konstantinopel ke dalam tangan Islam, sehingga pada awal abad
ke-14 M muncullah di panggung dunia, Lima Besar Islam, sebagai pendukung
kekuatan Islam, yaitu Maroko di Afrika Utara, Istambul di Asia Kecil, Isfahan
di Timur Tengah, Agra di Anak Benua India, dan Aceh di Asia Tenggara. (Wilfred Cantwell smith, Islam in
Modern History, London: Mentro Book, hlm. 45.)
Dari Aceh
muncul beberapa tokoh keilmuan yang menandakan kemajuan keilmuan di kalangan
umat Islam di Asia Tenggara. Beberapa ulama prestisius Aceh yabg terkenal
dengan karya-karyanya adalah Nuruddim Ar-Raniri. Hamzah Fanshuri, yang
mengarang Syair Perahu. Abdurrauf Singkel, Syamsuddin Sumatrani, dan masih
banyak lagi.[8]
Dari Aceh,
Islam juga berkembang ke berbagai wilayah Nusantara antara lain Islam berkembang ke Ampel, Demak, Cirebon, dan
terus berkembang ke Sulawesi, Maluku dan Kalimantan.
Sumber sejarah tentang keusltanan ini adalah Kitab Bustanul’ssalatin karya Nuruddin
ar-Raniri tahun 1637, yang berisi tentang silsilah sultan-sultan Aceh; batu
nisan makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan ini disebutkan Sultan Ali
Mughayat Syah wafat pada 7 agustus 1530.
Aceh berkembang pesat ketika Pasai berada di ambang
keruntuhan dan Malaka jatuh ke tangan Portugis. Hal itu disebabkan karena
jatuhnya Malaka dan surutnya pengaruh Pasai membuat kapal-kapal yang lewat di
perairan Selat Malaka singgah di pelabuhan Aceh. Pada tahun 1524 Pasai menjadi
bagian dari Kesultanan Aceh. Kebesaran kesultanan ini tampak nyata dalam
perlawanannya yang berani dan heroik tidak saja terhadap bangsa portugis tetapi
juga terhadap penjajah Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
Aceh mencapai puncak kejayaan; wilayah kekuasaan meluas dari Deli sampai ke
Semenanjung Malaya, Aceh cepat menjadi pelabuhan perdagangan yang besar,
dibentuk tata pemerintahan yang rapi, secara militer sangat kuat dan disegani,
dan terjalin hubungan dengan negara-negara lain (termasuk Eropa). Komoditi
perdagangan cukup banyak, sebab Aceh kaya akan rempah-rempah dan bahan tambang
(lada dan timah sangat kaya di Semenanjung Malaya). Jenis barang dagangan
lainnya adalah beras, emas, perak, tekstil, porselen, dan minyak wangi. Pada
masa pemerintahannya disusun sebuah undang-undang tentang tata pemerintahan
yang diberi nama Adat Makuta Alam, yang ditulis dengan huruf Arab dan
berbentuk syair Melayu.[9]
Islandar Muda juga sangat memperhatikan kestabilan dan
ketahanan kerajaannya; maka, ia bentuk militer yang kuat sehingga secara
militer Aceh dianggap kesultanan terkuat pada masa itu. Iskandar Muda juga
terkenal piawai dalam urusan diplomasi, tidak saja dengan kerajaan-kerajaan
lain di Nusantara tetapi juga dengan negara-negara Eropa seperti Inggris,
Belanda, Utsmaniyah dan Perancis.
Meskipun kesultanan Aceh merupakan negara Islam,
kehidupan masyarakatnya tetap bersifar feodal. Dalam tatanan masyarakatnya Aceh
memiliki golongan bangsawan yang bergelar teuku, dan golongan ulama yang
bergelar tengku; kedua golongan ini seringbersaing untuk berebut pengaruh dalam
masyarakat.
Iskandar Muda digantikan Iskandar Tsani (1636-1641). Pada
masa pemerintahannya hidup sastrawan besar bernama Nuruddin ar-Raniri yang
dikenal dengan karyanya yang berjudul Bustanussalatin, yang berarti taman
raja-raja;isinya adalah tentang adat istiadat Aceh dan ajaran tentang Islam.
Sepeninggal Iskandar Tsani, Aceh mengalami kekmunduran.
Faktor utamanya adalah makin menguatnya Belanda di Pulau Sumatra dan Selat
Malaka (ditandai jatuhnya Minangkabau, Siak, Tapanuli dan Mandailing, Deli
serta Bengkulu ke tangan Belanda). Pada saat yang sama tidak ada sultan yang
semampu dan sehebat Iskandar Muda yang berjuang ketika Belanda menguasai Aceh
pada 1904.
Faktor lainnya adalah karena adanya perebutan kekuasaan, terutama
antara golongan bangsawan (teuku) dan golongan ulama (tengku); diantara para
ulama sendiri pun terjadi pertikaian karena perbedaan aliran dalam agama
(aliran Syi’ah da Ahlussunah wal Jama’ah).
Raja-raja
yang berkuasa di Kerajaan Aceh
1.
Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.
Sultan Salahudin (1528-1537)
3.
Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Kahar (1537-1568)
4.
Sultan Husein (1568-1575)
5.
Sultan Muda (1575)
6.
Sultan Sri Alalm (1575-1576)
7.
Sultan Zain Al Abidin (1576-1577)
8.
Sultan Alaudin Mansyur Syah (1577-1589)
9.
Sultan Ali Ri’yat Syah Putra (1589-1596)
10. Sultan Alaudin Ri’yat Syah
(1596-1604)
11. Sultan Ali Ri’ayat Syah
(1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda
(1607-1636)
13. Sultan Iskandar Tsani
(1636-1641)
14. Sultanah Tsafiatuddin Tajil
Alam/ Putri Alam (1641-1675)
15. Sultanah Naqi al-Din Nur Alam
(1675-1678)
16. Sultanah Zaqi sl-Din Inayat
Syah (1678-1688)
17. Sultanah Kamalat Sayah Zinat
al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif
Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif
Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr
al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin
al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala’ al-Din Ahmad Syah
(1727-1735)
24. Sultan Ala’ al-Din Johan Syah
(1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah
1785-1791)
28. Sultan Alaudin Muhammad Daud
Syah (1791-1795)
29. Sultan Ala al-Din Jauhar Alam
Syah (1759-1815)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam
(1815-1818)
31. Sultan Ala al-Din Jauhar Alam
Syah (1818-1824)
32. Sultan Muhammad Syah
(1824-1838)
33. Sultan Sulaiman Syah
(1838-1857)
34. Sultan Mansyur Syah
(1857-1870)
35. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
36. Sultan Muhammad Daud Syah
(1874-1903)
Peninggalan
Kerajaan Aceh
1.
Masjid Raya Baiturrahman
Peninggalan kerajaan Aceh yang pertama serta paling terkenal uaitu Masjid
Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar tahun
1612 M ini terletak di pusat kota Banda Aceh. Ketika agresi militer Belanda II,
masjid ini pernah dibakar. Tetapi pada selang tahun 4 tahun setelahnya, Belanda
membangunnya kembali untuk meredam amarah rakyat Aceh yangakan berperang
merebut Syahid. Ketika bencana Tsunami menimpa Aceh pada 2004 lalu, masjid
peninggalan sejarah Islam di Indonesia satu ini jadi pelindung untuk sebagian
masyarakat Aceh. Kekokohan bangunannya tidak dapat digentarkan oleh sapuan
ombak laut yang saat itu meluluhkan kota Banda Aceh.
2.
Taman Sari Gunongan
Merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Aceh. Taman ini dibangun pada
saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda berhasil
menaklukkan Kerajaan Pahang sera Kerajan Johor di Semenanjung Malaka.
Sultan Iskandar Muda jatuh cinta pada Putri Boyongan dari Pahang dan
menjadikannya permaisuri. Karena cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar
Muda bersedia untuk memenuhi keinginan Putri Boyongan untuk membangun sebuah
Taman sari yang indah yang dilengkapi dengan Gunongan.
3.
Masjid Tua Indrapuri
Merupakan bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi. Bentuknya seperti
candi, karena di masa lalu bangunan ini bekas benteng sekaligus candi kerajaan
Hindu yang lebih dulu menguasai Aceh. Pada akhirnya bangunan yang awalnya candi
ini berubah fungsi menjadi masjid pada masa Sultan Iskandar Muda.
4.
Benteng Indra Patra
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, benteng ini masih dipakai
sebagai tempat pertahanan melawan penjajah portugis.
5.
Pinto Khop
Merupakan pintu gerbang yang berbentuk kubah. Tempat ini dibangun pada
saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan menjadi pintu penghubunug antara
istana serta taman putroe phang.
6.
Meriam Kesultanan Aceh
Meriam ini digunakan untuk mempertahankan Aceh dari serangan penjajah.
Diproduksi oleh Aceh sendiri dari kuningan.
7.
Hikayat Prang Sabi
Merupakan suatu karya sastra yang berupa hikayat. Isinya membicarakan
mengenai jihad. Ditulis oleh para ulama yang berisi ajakan, nasehat, serta
seruan untuk terjun ke medan jihad untuk menegakkan agama Allah dari serangan
kaum kafir. Bisa jadi, hikayat inilah yang menghidupkan semangat juang rakyat
Aceh dahulu untuk mengusir penjajah.
8.
Makam Sultan Iskandar Muda
Makam ini terletak di Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, kota
Banda Aceh. Ukiran sera pahatan kaligrafi pada batu nisannya sangat indah serta
menjadi salah satu bukti sejarah masuknya Islam ke Indonesia.
9.
Uang Emas Kerajaan Aceh
Uang logam yang terbuat dari 70% emas murni lalu dicetak lengkap dengan
nama-nama raja yang memerintah Aceh. Uang ini masih sering ditemukan serta
menjadi harta karun yang sangat diburu oleh beberapa orang.
Islam pertama kali muncul dan berkembang
di Nusantara dimulai dari daerah Sumatra. Didirikan
oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Gujarat, yang menetap disana. Kemudian
lahirlah kerajaan-kerajaan Islam disana.
Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan
Perlak (sekarang Malaysia) yang kemudian jatuh dibawah kekuasaan kerajaan
Samudra Pasai yang sedang berkembang pesat pada saat itu dan setelah Kerajaan
Samudra Pasai runtuh lahirlah kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan Islam
terbesar di Asia tenggara, kekuatan militernya tidak bisa diragukan lagi, oleh
karena itu Kerajaan Aceh menjadi kerajaan yang sangat kuat. Kerajaan Aceh
mempunyai peranan penting dalam persebaran islam di Nusantara, karena Aceh
mengirimkan pendakwah-pendakwah untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru
termasuk Jawa.
Kemudian pada akhirnya kerajaan-kerajaan islam itu
hancur karena serangan dari penjajah dan menyisakan peninggalan-peninggalan
yang masih ada sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Muljana, Slamet. 2007. Runtuhnya Kerajaan
Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta:
LkiS.
Hapsari, Ratna. 2014. SEJARAH Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Iskandar, Dodi. 1991. IPS
SEJARAH SMP JILID 2. Bandung:
Erlangga.
Wahid, Abbas. 2008. Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam. Surakarta: Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri.
Alfian, Magdalia. 200. SEJARAH untuk SMA dan
MA Kelas XI Program IPS. :esis.
Munir, Samsul Amin. 2016. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Amzah.
[1] Prof. Dr. Slamet
Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara (Yogyakarta: LKiS) 2007, hlm. 130
[2]
Ratna Hapsari, SEJARAH Indonesia, (Jakarta: Erlangga) 2014, hlm. 193
[3]
Dodi Iskandar, IPS SEJARAH SMP JILID 2, (Bandung, Erlangga) 1991, hlm. 9
[4]
Abbas WahidKhazanah Sejarah Kebudayaan Islam, (Surakarta: Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri) 2008, hlm. 104
[5]
Magdalia Alfian, SEJARAH untuk SMA dan MA Kelas XI Program IPS, (:esis) 20, hlm.
89
[8]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah) 2016, hlm. 333
Komentar
Posting Komentar