PEMIMPIN NON MUSLIM DI KALANGAN MAYORITAS MULIM
MAKALAH
PEMIMPIN NON MUSLIM DI
KALANGAN MAYORITAS MULIM
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Ahmad Musyaffa’

Di
susun oleh:
Dicqy wahyudi (1608301027)
SKI / A
FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON 2016
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
atas limpahan rahmatnya, taufik dan hidayahnya serta nikmat sehat sehingga
penyusunan makalah ini dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan. Shalawat
serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan semoga kita selalu berpegang teguh pada
sunnahnya Amiin...
Dalam penyusunan makalah
ini tentunya hambatan selalu mengiringi namun atas dorongan dan bimbingan dari orang tua, dosen
pengampu dan akhirnya semua
hambatan dalam penyusunan makalah ini dapat teratasi.
Makalah
ini kami susun dengan tujuan sebagai
informasi serta untuk menambah wawasan khususnya mengenai Pemimpin Non Muslim
di Kalangan Mayoritas Muslim dengan perkembangan zaman dan adapun metode yang kami ambil dalam penyusunan makalah
ini adalah berdasarkan pengumpulan sumber informasi dari berbagai karya tulis.
Cirebon, 23
Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……..…………………………….……………… 2
DAFTAR ISI.................................................................................. …3
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang.............................................................................4
1.2.
Rumusan masalah…………...……………………………..……4
1.3.
Tujuan…………………………………………………………...4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pemimpin.……………………………………….……..5
2.2 Syarat
Menjadi Pemimpin………………………………...........5
2.3 Dasar dan Dalil......................................................................... 7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
Agar
kehidupan suatu umat berjalan secara teratur dan hubungan sesama manusia
berjalan dengan rukun dan damai. Maka diangkatlah seorang pemimpin yang
diberikan kewenangan untuk mengomandoi pelaksanaan aturan yang telah ditetapkan.
Seorang
pemimpin dalam Islam mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, bukan hanya
menjadi pengarah dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh manusia. Tetapi
ia merupakan khalifah Alfah di dunia yang berperan mengomandoi dan mengarahkan
umat manusia agar mereka melaksanakan aturan dan hukum Allah.
Dalam era
globalisasi ini, masalah kepemimpinan bukan hanya masalah lokal atau wilayah
suatu negara saja. Pengangkatan seorang pemimpin lebih banyak dipengaruhi oleh
permasalahan politik dunia. Apalagi dengan adanya sistem demokrasi, seorang
pemimpin yang akan diangkat adalah yang mempunyai dukungan terbanyak.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas latar belakang masalah di atas, penulis membatasi
permasalahan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.
Apa definisi pemimpin?
2.
Apa syarat menjadi pemimpin?
3.
Apa dasar dan dalil seorang pemimpin?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi
pemimpin
2. Untuk mengetahui syarat
menjadi pemimpin
3. Untuk mengetahui dasar
dan dalil seorang pemimpin
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Pemimpin
Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang
sama "pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin".
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan.[1]
2.2. Syarat Menjadi Pemimpin
Di
dalam Islam seorang pemimpin haruslah mempunyai sifat:
1. S1DDIQ artinya jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan
2. FATHONAH artinya jerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan professional
3. AMANAH artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel
4. TABLIGH artinya senantiasa menyammpaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.
Di dalam Alkitab peminipin harus mempunya sifat dasar :
Bertanggung jawab, Berorientasi pada sasaran, Tegas, Cakap, Bertumbuh, Memberi Teladan, Dapat membangkitkan semangat, Jujur, Setia, Murah hati, Rendah hati, Efisien, Memperhatikan, Mampu berkomunikasi, Dapat mempersatukan, serta Dapat mengajak.
Pada ajaran Budha di kenal dengan DASA RAJA DHAMMA yang terdiri dari :
• DHANA (suka menolong, tidak kikir dan ramah tamah),
• SILA (bermoralitas tinggi),
• PARICAGA Imengorban segala sesuatu demi rakyat),
• AJJAVA (jujur dan bersih),
• MADDAVA (ramah tamah dan sopan santun),
• TAPA (sederhana dalam penghidupan),
• AKKHODA (bebas dari kebencian dan permusuhan),
• AVIHIMSA (tanpa kekerasan)
• KHANTI (sabar, rendah hati, dan pemaaf),
• AVIRODHA (tidak menentang dan tidak menghalang-halangi).
Pada ajaran Hindu, falsafah kepemimpinan dijelaskan dengan istilah-istilah:
• PANCA STITI DHARMENG PRABHU yang artinya lima ajaran seorang pemimpin,
• CATUR KOTAMANING NREPATI yang artinya empat sifat utama seorang pemimpin
• ASTA BRATlA yang artinya delapan sifat mulia para dewa,
CATUR NAYA SANDHI yang artinya empat tindakan seorang pemimpin, Dalam
Catur Naya Shandi pemimpin harus mempunyai sifat yaitu :
- SAMA /dapat menandingi kekuatan musuh
- BHEDA /dapat melaksanakan tata tertib dan disiplin kerja
- DHANA /dapat mengutamakan sandang dan papan untuk rakyat
- DANDHA / dapat menghukum dengan adil mereka yang bersalah.
Trait Theory (Keith Davis)
Ciri Utama Pemimpin Yang Berhasil
• Intelegensia
• Kematangan Sosial
• Inner Motivation
• Human Relation Attitude[2]
2.3. Dasar dan Dalil
1. S1DDIQ artinya jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan
2. FATHONAH artinya jerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan professional
3. AMANAH artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel
4. TABLIGH artinya senantiasa menyammpaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.
Di dalam Alkitab peminipin harus mempunya sifat dasar :
Bertanggung jawab, Berorientasi pada sasaran, Tegas, Cakap, Bertumbuh, Memberi Teladan, Dapat membangkitkan semangat, Jujur, Setia, Murah hati, Rendah hati, Efisien, Memperhatikan, Mampu berkomunikasi, Dapat mempersatukan, serta Dapat mengajak.
Pada ajaran Budha di kenal dengan DASA RAJA DHAMMA yang terdiri dari :
• DHANA (suka menolong, tidak kikir dan ramah tamah),
• SILA (bermoralitas tinggi),
• PARICAGA Imengorban segala sesuatu demi rakyat),
• AJJAVA (jujur dan bersih),
• MADDAVA (ramah tamah dan sopan santun),
• TAPA (sederhana dalam penghidupan),
• AKKHODA (bebas dari kebencian dan permusuhan),
• AVIHIMSA (tanpa kekerasan)
• KHANTI (sabar, rendah hati, dan pemaaf),
• AVIRODHA (tidak menentang dan tidak menghalang-halangi).
Pada ajaran Hindu, falsafah kepemimpinan dijelaskan dengan istilah-istilah:
• PANCA STITI DHARMENG PRABHU yang artinya lima ajaran seorang pemimpin,
• CATUR KOTAMANING NREPATI yang artinya empat sifat utama seorang pemimpin
• ASTA BRATlA yang artinya delapan sifat mulia para dewa,
CATUR NAYA SANDHI yang artinya empat tindakan seorang pemimpin, Dalam
Catur Naya Shandi pemimpin harus mempunyai sifat yaitu :
- SAMA /dapat menandingi kekuatan musuh
- BHEDA /dapat melaksanakan tata tertib dan disiplin kerja
- DHANA /dapat mengutamakan sandang dan papan untuk rakyat
- DANDHA / dapat menghukum dengan adil mereka yang bersalah.
Trait Theory (Keith Davis)
Ciri Utama Pemimpin Yang Berhasil
• Intelegensia
• Kematangan Sosial
• Inner Motivation
• Human Relation Attitude[2]
2.3. Dasar dan Dalil
“Dan janganlah orang-orang beriman
menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman lebih dari orang-orang
beriman”.
Maksudnya, janganlah orang-orang beriman
memuliakan orang-orang kafir, lalu menyampaikan rahasia-rahasia tertentu dalam soal-soal
agama kepada mereka dan mendahulukan kepentingan mereka dari pada kaum
mu’minin. Karena perbuatan seperti ini berarti mengutamakan mereka dan
menyokong kekafiran, serta mengabaikan keimanan.
Ringkasnya, orang-orang mu’min dilarang
menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat atau pimpinan, karena hubungan
keluarga atau persahabatan jahiliyah atau karena tetangga atau hubungan
pergaulan lain-lainnya. Tetapi seharusnya orang-orang mu’min memperhatikan apa
yang menjadi perintah Islam, seperti mencintai dan membenci semata-mata
haruslah berdasarkan pertimbangan agama. Berdasarkan pertimbangan inilah maka
memilih teman dekat sesame orang beriman lebih menjadikan baik kepentingan
agama mereka dari pada berteman karib dengan orang-orang kafir.
Tetapi jika hubungan teman karib dan kawan
perjanjian itu untuk kepentingan bersama kaum muslimin, maka tidak ada
salahnya. Sebab Nabi Saw. pernah mengadakan perjanjian persahabatan dengan suku
Khuza’ah yang masih musyrik. Begitu pula tidak salah seseorang muslim percaya
dan berhubungan baik dengan orang-orang bukan Islam dalam urusan-urusan
keduniaan.
Dan barang siapa berbuat demikian, maka
tidaklah ada (perlindungan) dari Allah sedikitpun.
Yaitu orang beriman yang lebih mengutamakan
orang kafir menjadi teman dekatnya dalam sesuatu urusan yang bisa membahayakan
kepentingan agamanya, maka Allah sama sekali tidak akan memberikan perlindungan
kepadanya, yaitu tidak aka nada seorang pun yang mau patuh kepadanya, yaitu
tidak aka nada seorang pun yang mau patuh kepadanya atau menjadi penolong
urusan agamanya. Sehingga hubungan iman dirinya dengan Tuhannya jadi putus. Dan
jadilah ia golongan orang-orang kafir, sebagaimana tersebut dalam surat
al-Maidah ayat 51.
“Kecuali karena kamu takut betul-betul
(gangguan) dari mereka”.
Maksudnya, bahwa satu keharusan bagi
orang-orang mu’min tidak mengambil teman dekat orang-orang kafir dalam keadaan
apapun, kecuali karena takut adanya sesuatu bahaya yang diperbuat oleh mereka.
Maka pada saat seperti itu kamu boleh berjaga-jaga sekedar dapat menyelamatkan
keadaan kamu dari bahaya itu. Karena menurut dasar agama dinyatakan “menolak
bahaya harus didahulukan dari pada meraih keuntungan”.
Jika menjadikan mereka sebagai teman itu
dibolehkan, karena takut adanya bahaya, maka adalah lebih utama membolehkan
mengambil mereka sebagai teman dekat di dalam urusan yang menguntungkan umat
Islam. Jadi adalah tidak ada salahnya suatu negara Islam mengadakan perjanjian
persahabatan dengan Negara non Islam, bila membawa keuntungan yang lebih baik,
mungkin untuk menolak bahaya atau memperoleh keuntungan. Tetapi tidak boleh
mengadakan perjanjian persahabatan di dalam suatu hal yang merugikan umat
Islam. Kebolehan ini tidak hanya terbatas ketika keadaan lemah, tetapi berlaku
pada segala waktu.
Dari ayat ini para ulama memperoleh
ketetapan hukum, dibolehkan seseorang brkata atau berbuat yang berlawanan
dengan kebenaran, karena ingin menjauhkan diri dari bahaya musuh yang mengancam
jiwanya atau kehormatannya atau hartanya.
Barangsiapa terpaksa mengucapkan kata-kata
kekafiran karena ingin menyelamatkan diri dari kebinasaan, sedang hatinya tetap
rela menerima iman, maka dia tidaklah menjadi kafir, bahkan diberi maaf,
seperti yang pernah dilakukan oleh Amar bin Yasir, ketika dipaksa oleh kaum
Quraisy untuk menjadi kafir, dan dia mau secara terpaksa, sedang hatinya tetap
rela dengan keimanan. Dalam kejadian ini turunlah surat An-Nahl ayat 6.
Sebagaimana halnya seorang sahabat yang
disuruh oleh Musailamah mengakui kerasulannya, katanya : “Apakah kamu bersaksi,
bahwa aku adalah rasul Allah?” Jawabnya : “. Lalu dia dibiarkan, sedangkan
temannya yang tidak mau menjawab dibunuh. Kejadian ini sampai kepada Rasulullah
Saw. lalu beliau bersabda :
“Adapun orang yang terbunuh ini maka dia menetapi keyakinan dan menetapi
keyakinan dan kebenarannya. Karena itu berbahagialah dia. Karena itu
berbahagialah dia. Sedangkan yang seorang lagi telah menerima kelonggaran
Allah. Karena itu tidak ada tuntutan (hukuman) baginya”.
Adalah suatu kelonggaran bila berhadapan
dengan suatu bahaya untuk berbuat menyalahi kebenaran, tetapi bukan menjadi
suatu prinsip yang bisa berlaku selamanya. Karena itu seorang muslim wajib
hijrah dari suatu tempat yang dia ketakutan menjalankan agamanya dengan bebas,
sehingga selalu berpura-pura. Dan adalah merupakan iman yang sempurna kalu dia
dalam menjalankan agama Allah tidak takut celaan siapa pun, sebagaimana Allah
firmankan dalam surat Ali Imran ayat 75 dan surat Al-Baqarah ayat 150.
Adalah Nabi dengan para sahabatnya biasa mengalami
gangguan dan penderitaan di dalam memikul da’wah dan mereka bersabar.
Termasuk dalam pengertian taqiyah
(berpura-pura) bergaul dengan orang kafir, orang-orang dzalim, orang-orang
fasik, berbicara lembut kepada mereka, senyum, dan memberikan harta agar tidak
diganggu dan dilanggar kehormatannya. Semua perbuatan ini tidak termasuk dalam pengertian mengambil teman karib orang-orang
kafir sebagaimana yang dilarang oleh ayat ini. Thabrani meriwayatkan sabda Nabi
Saw.
“Sesuatu yang digunakan seorang mu’min memelihara kehormatannya adalah
suatu shadaqah (ibadah)”.
Dari ‘Aisyah, katanya :
“Seorang minta izin kepada Rasulullah, dan ketika itu saya di sisi
beliau. Beliau bersabda : “Alangkah jeleknya anak seprgaulan atau saudara
sepergaulan seperti itu”. Kemudian beliau mengizinkan kepadanya, lalu berkata
dengan lembut kepadanya. tatkala orang itu keluar, saya bertanya : “Wahai
Rasulullah, engkau telah mengatakan apa yang telah engkau katakan. Kemudian
engkau berkata lembut kepadanya”. Maka jawabnya : “Wahai ‘Aisyah, sungguh
sejelek-jelek orang yaitu orang yang dijauhi orang lain karena takut kepada
keburukannya”. (H.R. Bukhari).[3]
“Janganlah orang-orang Mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang Mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu. Katakanlah : “Jika kamu menyembunyikan
apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah
mengetahui.”Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Dan Allah Mahakuasa atas segalanya. Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati
segala kebajikan dihadapkan (kehadapannya), begitu (juga) kejahatan yang telah
dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang
jauh; dan Allah memperingatkan kamuterhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat
Penyayang kepada hamba-hamba-Nya”. (Ali Imran, 3:28-30)[4]
Juga
diriwayatkan, tentang sabda beliau yang mengatakan:
“Bahwa kami pernah bermanis muka di hadapan suatu kaum tetapi hati kami
benar-benar membenci mereka.”
Sesungguhnya, Allah Swt. Maha Mengetahui
terhadap apa-apa yang ada di hati mereka, tatkala orang itu memihak kaum kafir,
bersahabat erat dengan mereka atau merasa khawatir terhadap perbuatan
orang-orang kafir.
Jika pergaulanmu dengan mereka membuat kamu
cenderung kufur, maka Allah akan membalas kamu. atas perbuatan yang tidak
dianggap sebagai pelanggaran terhadap agama, dan tidak terhadap para
pemeluknya. Allah, semata-mata hanya membalas kalian sesuai dengan
pengetahuan-Nya mutlak terhadap apa yang ada di langit dan bumi. Sebab,
Allah-lah Yang Menciptakan keduanya, sebagaimana firman-Nya:
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kami lahirkan
dan rahasiakan)?...” (Al-Mulk, 67: 14)
Allah Mahakuasa untuk menghukum kalian,
maka janganlah sekali-kali berani berbuat maksiat terhadap Allah dengan memihak
musuh-musuh-Nya. Sebab, tiada suatu maksiat, sekalipun bentuknya samar atau
terang-terangan, kecuali Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa untuk menghukum
pelakunya.[5]
·
PENGERTIAN SECARA IJMAL
Dalam ayat yang lalu, Allah Swt.
mengingatkan Nabi dan kaum Mu’minin agar berlindung kepada Allah dengan
pengakuan, bahwa di tangan-Nya-lah kerajaan, kemuliaan, dan pengaruh yang
mutlak dalam mengatur alam semesta ini. Oleh karena itu, Allah memberikan
kepada orang-orang yang dikehendaki dan mencegahnya dari orang-orang yang
dikehendaki pula. Kemudian Allah Swt. membimbing melalui ayat-ayat ini, bahwa
termasuk orang yang lupa apabila ia merasa bangga kepada selain Allah, atau
berlindung kepada selain-Nya.
Dara perawi sirah (sejarah) meriwayatkan,
bahwa sebagian orang yang telah memeluk Islam merasa silau dengan kemuliaan dan
kekuatan kuffar. Karenanya, mereka memihak dan tunduk padanya. Hal itu bukanlah
sesuatu yang aneh, tetapi memang sudah menjadi watak manusia.
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Al-Hijjaj
ibnu Amr, Ibnu Abi ‘I-Huqaiq, dan Qais ibnu Zaid dari kalangan orang Yahudi,
menyimpan uneg-uneg kepada kelompok Anshar. Mereka berupaya memfitnah agamanya.
Akhirnya, berkatalah Rifa’ah ibnu ‘I-Mundzir, Abdullah ibnu Zubair dan Sa’ad
ibnu Khaitsamah tantang golongan Yahudi tersebut, “Menjauhkan kalian dari
orang-orang Yahudi itu.” Tetapi, golongan tersebut tetap pada pendiriannya,
bersikap menyimpan uneg-uneg terhadap kalangan Anshar. Akhirnya, Allah Swt.
menurunkan ayat ini
·
PEJELASAN
Janganlah orang-orang Mu’min mengambil kekasih dari orang-orang
kafir, yang pada akhirnya orang-orang Mu’min membuka rahasia-rahasia Khusus
yang berkaitan dengan urusan-urusan agama kaum Mu’minin. Akhirnya, orang-orang
Mu’min mendahulukan maslahat mereka disbanding maslahat orang-orang Mu’min
sendiri.
Janganlah berbuat demikian. Sebab, tindakan seperti
itu sama denan mengutamakan mereka disbanding diri sendiri, dan berarti pula
membantu kekufuran dan mengabaikan keimanan.
Kesimpulannya: Allah Swt. melarang kaum Mu’min memihak
orang-orang kafir, baik urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena
tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Bahkan, seharusnya meraka tetap memelihara apa yang
sekarang mereka pegang, yaitu hal-hal yang ditutut Islam untuk melaksanakannya,
seperti bersikap senang dan membenci hanya karena factor kemaslahatan agama
saja. Dilihat dari sini, memihak orang-orang Mu’min, bagi orang-orang Mu’min
sendiri jelas lebih baik dibandingkan memihak kaum kafir, dilihat dari segi
kemaslahatan mereka sendiri.
Tetapi, jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum
kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum Mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab,
Nabi Muhammad Saw. sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal
mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai
seseorang pemeluk agama lain, dan bermu’amalah dengan baik dalam
masalah-masalah keduniaan.
Barangsiapa mengambil orang kafir sebagai kekasihnya
dalam suatu hal yang membahayakan kemaslahatan agama, sama sekali ia tidak akan
mendapatkan pengakuan dari Allah Swt. Dengan kata lain, ia tidak lagi taat
kepada Allah dan tidak menolong agama-Nya. Bahkan, hubungan keimanan antara
dirinya dengan Tuhannya terputus, dan ia termasuk golongan kafir. Seperti
firman Allah berikut ini:
“…barangsiapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka….”(Al-Maidah, 5:51)
Sesungguhnya, orang-orang Mu’min
meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan,
dalam kondisi bagaimanapun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang
mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu, diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka
sesuai dengan rasa kekhawatiranmu terhadap hal yang kamu khawatirkan dari
mereka.
Bila mengambil orang-orang kafir hanya
sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam
rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum Muslimin. Jika demikian,
berarti tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan Negara
non-Islam, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum Muslimin, yang
terkadang untuk menolak bahaya atau
menarik kemanfaatan.
Bagi negara Islam, sama sekali tiada hak
mengambil mereka sebagai teman dalam suatu hal yang membahayakan kaum Muslimin.
Dan persekutuan itu tidaklah ditentukan hanya dalam kondisi lemah, bahkan
dibolehkan dalam segala keadaan/kondisi.
Para ulama telah mengambil keputusan hukum
dari ayat ini akan bolehnya taqiyyah. Yakni, hendaknya seseorang
mengatakan atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran, dalam
rangka mencegah bahaya yang datang dari musuh, seperti yang berkait dengan
jiwa, kehormatan, atau harta.
Barangsiapa mengatakan kalimat kufur karena
ditekan dan dipaksa, sedangkan ia berusaha agar tidak dibunuh dan hatinya tetap
tenang dengan keimanan, ia bukanlah orang kafir. Bahkan perbuatannya akan
diampuni. Seperti misalnya yang terjadi pada Ammar ibnu Yasir, tatkala kabilah
Quraisy memaksanya kufur. Kemudian, Ammar melakukannya karena terpaksa. Tetapi
hatinya tetap beriman. Dalam hal ini turunlah ayat berikut ini:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia
beriman, (dia mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya adzab yang besar”. (An-Nahl, 16:106)[6]
Tafsir Tematik tentang Hubungan Sosial
Antarumat Beragama dalam soal ini memberikan uraian lebih paradigmatik. Ada dua gerak
hermeneutic yang dilakukan dalam tafsir ini. Pertama, bergerak ke
belakang merekonstruksi latar belakang historis (bukan sekadar melaporkan kasus
individual) dan memahami mekanisme historis serta factor yang melahirkan teks
mengenai masalah ini untuk memahami konteks dari pesan yang terkandung dalam
ayat yang dimaksud.
Kedua, bergerak ke depan kea rah lokasi sosial penafsir,
tetapi bukan dengan maksud untuk memproyeksikan keinginan kontemporer kepada
teks-teks tersebut, melainkan untuk menemukan wawasan baru yang memperluas
cakrawala, sehingga mampu mengungkap pesan yang lebih dalam yang selama ini
mungkin tertutup, atau dalam bahasa Arkoun, tak terpikirkan.
Dengan gerak hermeneutic di atas, Tafsir
Tematik al-Qur’an lalu menyimpulkan bahwa berhubungan sosial dengan umat
agama lain pada prinsipnya diperbolehkan Islam, sejauh itu mereka tidak
menghina dan memperolok Islam, tidak mengingkari kebenaran dan tidak menindas
umat Islam. Kesimpulan yang sama juga muncul dalam Tafsir al-Misbah.
Larangan menjadikan kaum non Muslim sebagai auliya yang dikemukakan ayat
al-Ma’idah [5]:51 tidaklah bersifat mutlak.
Berbeda dengan tiga karya tafsir di atas, Tafsir
al-Hijri memberikan arah pemahaman yang bertolak belakang. Kata awliya’
dalam QS. al-Maidah: 51-53 dimaknainya sebagai “pemimpin”. Pemaknaan yang
dilakukan didin ini sebetulnya bentuk penyempitan. Sebab, menurut Quraisy,
makna dasar dari kata wali adalah “dekat”, yang kemudian berkembang
makna-makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung dan seterusnya.
Disebabkan penyempitan pemaknaan itu, Didin
dalam kasus ayat ini bicara masalah kepemimpinan. Ujungnya kesimpulan yang
ditariknya menjadi ekslusif:
jika kita punya kesempatan untuk memilih
pemimpin, dalam level apapun, maka pilihlah orang yang beriman, orang yang
muslim, mereka yang shalat dan membayar zakat, dan mereka yang cinta kepada
Islam dan kaum Muslim. Bukan semata-mata keahlian, tetapi lebih pada kesamaan
aqidah dan keyakinan…Boleh saja memilih pemimpin seorang yang asalnya kafir,
dengan syarat mereka sudah bertaubat. Tetapi taubatnya harus sebagaimana
ditegaskan dalam QS. al-Nisa’ [4]: 146.
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa
Didin memandang pentingnya institusi Islam sebagai kerangka dasar dalam
kepemimpinan. Dalam memilih pemimpin, menurutnya keahlian bukanlah hal utama,
tetapi keislaman seseorang itulah yang harus didahulukan. Ukuran formalism dan
kelembagaan agama, dalam hal ini Islam, kaitannya dengan bersikap dalam ruang
sosial politik di Indonesia, tentu akan melahirkan persoalan. Sebab, seperti
kita tahu, di samping bukan negara yang secara institusional Islam, Indonesia
dalam kenyataannya merupakan Negara yang terdiri dari banyak agama.[7]
Komentar
Posting Komentar