PEMIMPIN NON MUSLIM DI KALANGAN MAYORITAS MULIM



MAKALAH
PEMIMPIN NON MUSLIM DI KALANGAN MAYORITAS MULIM
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Ahmad Musyaffa’
                                            Di susun oleh:          
Dicqy wahyudi (1608301027)

SKI / A
FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON 2016



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum  wr.wb
            Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmatnya, taufik dan hidayahnya serta nikmat sehat sehingga penyusunan makalah ini dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan semoga kita selalu berpegang teguh pada sunnahnya Amiin...
Dalam penyusunan makalah ini tentunya hambatan selalu mengiringi namun atas  dorongan dan bimbingan dari orang tua, dosen pengampu dan akhirnya semua hambatan dalam penyusunan makalah ini dapat teratasi.
Makalah  ini kami susun dengan tujuan sebagai informasi serta untuk menambah wawasan khususnya mengenai Pemimpin Non Muslim di Kalangan Mayoritas Muslim dengan perkembangan zaman dan adapun  metode yang kami ambil dalam penyusunan makalah ini adalah berdasarkan pengumpulan sumber informasi dari berbagai karya tulis.


Cirebon, 23 Desember  2016


Penulis












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……..…………………………….………………     2                
DAFTAR ISI.................................................................................. 3
BAB I   PENDAHULUAN
1.1.   Latar belakang.............................................................................4
1.2.    Rumusan masalah…………...……………………………..……4
1.3.        Tujuan…………………………………………………………...4
BAB II  PEMBAHASAN
2.1  Definisi Pemimpin.……………………………………….……..5
2.2  Syarat Menjadi Pemimpin………………………………...........5
2.3 Dasar dan Dalil......................................................................... 7    
BAB III PENUTUP
  3.1    Kesimpulan ……………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA





















BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Agar kehidupan suatu umat berjalan secara teratur dan hubungan sesama manusia berjalan dengan rukun dan damai. Maka diangkatlah seorang pemimpin yang diberikan kewenangan untuk mengomandoi pelaksanaan aturan yang telah ditetapkan.
Seorang pemimpin dalam Islam mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, bukan hanya menjadi pengarah dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh manusia. Tetapi ia merupakan khalifah Alfah di dunia yang berperan mengomandoi dan mengarahkan umat manusia agar mereka melaksanakan aturan dan hukum Allah.
Dalam era globalisasi ini, masalah kepemimpinan bukan hanya masalah lokal atau wilayah suatu negara saja. Pengangkatan seorang pemimpin lebih banyak dipengaruhi oleh permasalahan politik dunia. Apalagi dengan adanya sistem demokrasi, seorang  pemimpin yang akan diangkat adalah yang mempunyai dukungan terbanyak.

1.2. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas latar belakang masalah di atas, penulis membatasi permasalahan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.      Apa definisi pemimpin?
2.      Apa syarat menjadi pemimpin?
3.      Apa dasar dan dalil seorang pemimpin?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi pemimpin
2. Untuk mengetahui syarat menjadi pemimpin
3. Untuk mengetahui dasar dan dalil seorang pemimpin


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Pemimpin

Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.

Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang
sama "pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.

Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin".

Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan.[1]
2.2. Syarat Menjadi Pemimpin
Di dalam Islam seorang pemimpin haruslah mempunyai sifat:
1. S1DDIQ artinya jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan
2. FATHONAH artinya jerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan professional
3. AMANAH artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel
4. TABLIGH artinya senantiasa menyammpaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.

Di dalam Alkitab peminipin harus mempunya sifat dasar :
Bertanggung jawab, Berorientasi pada sasaran, Tegas, Cakap, Bertumbuh, Memberi Teladan, Dapat membangkitkan semangat, Jujur, Setia, Murah hati, Rendah hati, Efisien, Memperhatikan, Mampu berkomunikasi, Dapat mempersatukan, serta Dapat mengajak.

Pada ajaran Budha di kenal dengan DASA RAJA DHAMMA yang terdiri dari :
• DHANA (suka menolong, tidak kikir dan ramah tamah),
• SILA (bermoralitas tinggi),
• PARICAGA Imengorban segala sesuatu demi rakyat),
• AJJAVA (jujur dan bersih),
• MADDAVA (ramah tamah dan sopan santun),
• TAPA (sederhana dalam penghidupan),
• AKKHODA (bebas dari kebencian dan permusuhan),
• AVIHIMSA (tanpa kekerasan)
• KHANTI (sabar, rendah hati, dan pemaaf),
• AVIRODHA (tidak menentang dan tidak menghalang-halangi).

Pada ajaran Hindu, falsafah kepemimpinan dijelaskan dengan istilah-istilah:
• PANCA STITI DHARMENG PRABHU yang artinya lima ajaran seorang pemimpin,
• CATUR KOTAMANING NREPATI yang artinya empat sifat utama seorang pemimpin
• ASTA BRATlA yang artinya delapan sifat mulia para dewa,

CATUR NAYA SANDHI yang artinya empat tindakan seorang pemimpin, Dalam
Catur Naya Shandi pemimpin harus mempunyai sifat yaitu :
- SAMA /dapat menandingi kekuatan musuh
- BHEDA /dapat melaksanakan tata tertib dan disiplin kerja
- DHANA /dapat mengutamakan sandang dan papan untuk rakyat
- DANDHA / dapat menghukum dengan adil mereka yang bersalah.

Trait Theory (Keith Davis)
Ciri Utama Pemimpin Yang Berhasil

• Intelegensia
• Kematangan Sosial
• Inner Motivation
• Human Relation Attitude[2]

2.3. Dasar dan Dalil
“Dan janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman lebih dari orang-orang beriman”.
Maksudnya, janganlah orang-orang beriman memuliakan orang-orang kafir, lalu menyampaikan rahasia-rahasia tertentu dalam soal-soal agama kepada mereka dan mendahulukan kepentingan mereka dari pada kaum mu’minin. Karena perbuatan seperti ini berarti mengutamakan mereka dan menyokong kekafiran, serta mengabaikan keimanan.
Ringkasnya, orang-orang mu’min dilarang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat atau pimpinan, karena hubungan keluarga atau persahabatan jahiliyah atau karena tetangga atau hubungan pergaulan lain-lainnya. Tetapi seharusnya orang-orang mu’min memperhatikan apa yang menjadi perintah Islam, seperti mencintai dan membenci semata-mata haruslah berdasarkan pertimbangan agama. Berdasarkan pertimbangan inilah maka memilih teman dekat sesame orang beriman lebih menjadikan baik kepentingan agama mereka dari pada berteman karib dengan orang-orang kafir.
Tetapi jika hubungan teman karib dan kawan perjanjian itu untuk kepentingan bersama kaum muslimin, maka tidak ada salahnya. Sebab Nabi Saw. pernah mengadakan perjanjian persahabatan dengan suku Khuza’ah yang masih musyrik. Begitu pula tidak salah seseorang muslim percaya dan berhubungan baik dengan orang-orang bukan Islam dalam urusan-urusan keduniaan.
Dan barang siapa berbuat demikian, maka tidaklah ada (perlindungan) dari Allah sedikitpun.
Yaitu orang beriman yang lebih mengutamakan orang kafir menjadi teman dekatnya dalam sesuatu urusan yang bisa membahayakan kepentingan agamanya, maka Allah sama sekali tidak akan memberikan perlindungan kepadanya, yaitu tidak aka nada seorang pun yang mau patuh kepadanya, yaitu tidak aka nada seorang pun yang mau patuh kepadanya atau menjadi penolong urusan agamanya. Sehingga hubungan iman dirinya dengan Tuhannya jadi putus. Dan jadilah ia golongan orang-orang kafir, sebagaimana tersebut dalam surat al-Maidah ayat 51.
“Kecuali karena kamu takut betul-betul (gangguan) dari mereka”.
Maksudnya, bahwa satu keharusan bagi orang-orang mu’min tidak mengambil teman dekat orang-orang kafir dalam keadaan apapun, kecuali karena takut adanya sesuatu bahaya yang diperbuat oleh mereka. Maka pada saat seperti itu kamu boleh berjaga-jaga sekedar dapat menyelamatkan keadaan kamu dari bahaya itu. Karena menurut dasar agama dinyatakan “menolak bahaya harus didahulukan dari pada meraih keuntungan”.
Jika menjadikan mereka sebagai teman itu dibolehkan, karena takut adanya bahaya, maka adalah lebih utama membolehkan mengambil mereka sebagai teman dekat di dalam urusan yang menguntungkan umat Islam. Jadi adalah tidak ada salahnya suatu negara Islam mengadakan perjanjian persahabatan dengan Negara non Islam, bila membawa keuntungan yang lebih baik, mungkin untuk menolak bahaya atau memperoleh keuntungan. Tetapi tidak boleh mengadakan perjanjian persahabatan di dalam suatu hal yang merugikan umat Islam. Kebolehan ini tidak hanya terbatas ketika keadaan lemah, tetapi berlaku pada segala waktu.
Dari ayat ini para ulama memperoleh ketetapan hukum, dibolehkan seseorang brkata atau berbuat yang berlawanan dengan kebenaran, karena ingin menjauhkan diri dari bahaya musuh yang mengancam jiwanya atau kehormatannya atau hartanya.
Barangsiapa terpaksa mengucapkan kata-kata kekafiran karena ingin menyelamatkan diri dari kebinasaan, sedang hatinya tetap rela menerima iman, maka dia tidaklah menjadi kafir, bahkan diberi maaf, seperti yang pernah dilakukan oleh Amar bin Yasir, ketika dipaksa oleh kaum Quraisy untuk menjadi kafir, dan dia mau secara terpaksa, sedang hatinya tetap rela dengan keimanan. Dalam kejadian ini turunlah surat An-Nahl ayat 6.
Sebagaimana halnya seorang sahabat yang disuruh oleh Musailamah mengakui kerasulannya, katanya : “Apakah kamu bersaksi, bahwa aku adalah rasul Allah?” Jawabnya : “. Lalu dia dibiarkan, sedangkan temannya yang tidak mau menjawab dibunuh. Kejadian ini sampai kepada Rasulullah Saw. lalu beliau bersabda :
“Adapun orang yang terbunuh ini maka dia menetapi keyakinan dan menetapi keyakinan dan kebenarannya. Karena itu berbahagialah dia. Karena itu berbahagialah dia. Sedangkan yang seorang lagi telah menerima kelonggaran Allah. Karena itu tidak ada tuntutan (hukuman) baginya”.
Adalah suatu kelonggaran bila berhadapan dengan suatu bahaya untuk berbuat menyalahi kebenaran, tetapi bukan menjadi suatu prinsip yang bisa berlaku selamanya. Karena itu seorang muslim wajib hijrah dari suatu tempat yang dia ketakutan menjalankan agamanya dengan bebas, sehingga selalu berpura-pura. Dan adalah merupakan iman yang sempurna kalu dia dalam menjalankan agama Allah tidak takut celaan siapa pun, sebagaimana Allah firmankan dalam surat Ali Imran ayat 75 dan surat Al-Baqarah ayat 150.
Adalah Nabi dengan para sahabatnya biasa mengalami gangguan dan penderitaan di dalam memikul da’wah dan mereka bersabar.
Termasuk dalam pengertian taqiyah (berpura-pura) bergaul dengan orang kafir, orang-orang dzalim, orang-orang fasik, berbicara lembut kepada mereka, senyum, dan memberikan harta agar tidak diganggu dan dilanggar kehormatannya. Semua perbuatan ini tidak termasuk dalam  pengertian mengambil teman karib orang-orang kafir sebagaimana yang dilarang oleh ayat ini. Thabrani meriwayatkan sabda Nabi Saw.
“Sesuatu yang digunakan seorang mu’min memelihara kehormatannya adalah suatu shadaqah (ibadah)”.
Dari ‘Aisyah, katanya :
“Seorang minta izin kepada Rasulullah, dan ketika itu saya di sisi beliau. Beliau bersabda : “Alangkah jeleknya anak seprgaulan atau saudara sepergaulan seperti itu”. Kemudian beliau mengizinkan kepadanya, lalu berkata dengan lembut kepadanya. tatkala orang itu keluar, saya bertanya : “Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan apa yang telah engkau katakan. Kemudian engkau berkata lembut kepadanya”. Maka jawabnya : “Wahai ‘Aisyah, sungguh sejelek-jelek orang yaitu orang yang dijauhi orang lain karena takut kepada keburukannya”. (H.R. Bukhari).[3]
“Janganlah orang-orang Mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu. Katakanlah : “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui.”Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Allah Mahakuasa atas segalanya. Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (kehadapannya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamuterhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya”. (Ali Imran, 3:28-30)[4]
Juga diriwayatkan, tentang sabda beliau yang mengatakan:
“Bahwa kami pernah bermanis muka di hadapan suatu kaum tetapi hati kami benar-benar membenci mereka.”
Sesungguhnya, Allah Swt. Maha Mengetahui terhadap apa-apa yang ada di hati mereka, tatkala orang itu memihak kaum kafir, bersahabat erat dengan mereka atau merasa khawatir terhadap perbuatan orang-orang kafir.
Jika pergaulanmu dengan mereka membuat kamu cenderung kufur, maka Allah akan membalas kamu. atas perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap agama, dan tidak terhadap para pemeluknya. Allah, semata-mata hanya membalas kalian sesuai dengan pengetahuan-Nya mutlak terhadap apa yang ada di langit dan bumi. Sebab, Allah-lah Yang Menciptakan keduanya, sebagaimana firman-Nya:
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kami lahirkan dan rahasiakan)?...” (Al-Mulk, 67: 14)
Allah Mahakuasa untuk menghukum kalian, maka janganlah sekali-kali berani berbuat maksiat terhadap Allah dengan memihak musuh-musuh-Nya. Sebab, tiada suatu maksiat, sekalipun bentuknya samar atau terang-terangan, kecuali Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa untuk menghukum pelakunya.[5]
·         PENGERTIAN SECARA IJMAL
Dalam ayat yang lalu, Allah Swt. mengingatkan Nabi dan kaum Mu’minin agar berlindung kepada Allah dengan pengakuan, bahwa di tangan-Nya-lah kerajaan, kemuliaan, dan pengaruh yang mutlak dalam mengatur alam semesta ini. Oleh karena itu, Allah memberikan kepada orang-orang yang dikehendaki dan mencegahnya dari orang-orang yang dikehendaki pula. Kemudian Allah Swt. membimbing melalui ayat-ayat ini, bahwa termasuk orang yang lupa apabila ia merasa bangga kepada selain Allah, atau berlindung kepada selain-Nya.
Dara perawi sirah (sejarah) meriwayatkan, bahwa sebagian orang yang telah memeluk Islam merasa silau dengan kemuliaan dan kekuatan kuffar. Karenanya, mereka memihak dan tunduk padanya. Hal itu bukanlah sesuatu yang aneh, tetapi memang sudah menjadi watak manusia.
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Al-Hijjaj ibnu Amr, Ibnu Abi ‘I-Huqaiq, dan Qais ibnu Zaid dari kalangan orang Yahudi, menyimpan uneg-uneg kepada kelompok Anshar. Mereka berupaya memfitnah agamanya. Akhirnya, berkatalah Rifa’ah ibnu ‘I-Mundzir, Abdullah ibnu Zubair dan Sa’ad ibnu Khaitsamah tantang golongan Yahudi tersebut, “Menjauhkan kalian dari orang-orang Yahudi itu.” Tetapi, golongan tersebut tetap pada pendiriannya, bersikap menyimpan uneg-uneg terhadap kalangan Anshar. Akhirnya, Allah Swt. menurunkan ayat ini
·         PEJELASAN
Janganlah orang-orang Mu’min mengambil kekasih dari orang-orang kafir, yang pada akhirnya orang-orang Mu’min membuka rahasia-rahasia Khusus yang berkaitan dengan urusan-urusan agama kaum Mu’minin. Akhirnya, orang-orang Mu’min mendahulukan maslahat mereka disbanding maslahat orang-orang Mu’min sendiri.
Janganlah berbuat demikian. Sebab, tindakan seperti itu sama denan mengutamakan mereka disbanding diri sendiri, dan berarti pula membantu kekufuran dan mengabaikan keimanan.
Kesimpulannya: Allah Swt. melarang kaum Mu’min memihak orang-orang kafir, baik urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Bahkan, seharusnya meraka tetap memelihara apa yang sekarang mereka pegang, yaitu hal-hal yang ditutut Islam untuk melaksanakannya, seperti bersikap senang dan membenci hanya karena factor kemaslahatan agama saja. Dilihat dari sini, memihak orang-orang Mu’min, bagi orang-orang Mu’min sendiri jelas lebih baik dibandingkan memihak kaum kafir, dilihat dari segi kemaslahatan mereka sendiri.
Tetapi, jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum Mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab, Nabi Muhammad Saw. sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai seseorang pemeluk agama lain, dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan.
Barangsiapa mengambil orang kafir sebagai kekasihnya dalam suatu hal yang membahayakan kemaslahatan agama, sama sekali ia tidak akan mendapatkan pengakuan dari Allah Swt. Dengan kata lain, ia tidak lagi taat kepada Allah dan tidak menolong agama-Nya. Bahkan, hubungan keimanan antara dirinya dengan Tuhannya terputus, dan ia termasuk golongan kafir. Seperti firman Allah berikut ini:
“…barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka….”(Al-Maidah, 5:51)
Sesungguhnya, orang-orang Mu’min meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan, dalam kondisi bagaimanapun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu,  diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka sesuai dengan rasa kekhawatiranmu terhadap hal yang kamu khawatirkan dari mereka.
Bila mengambil orang-orang kafir hanya sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum Muslimin. Jika demikian, berarti tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan Negara non-Islam, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum Muslimin, yang terkadang untuk  menolak bahaya atau menarik kemanfaatan.
Bagi negara Islam, sama sekali tiada hak mengambil mereka sebagai teman dalam suatu hal yang membahayakan kaum Muslimin. Dan persekutuan itu tidaklah ditentukan hanya dalam kondisi lemah, bahkan dibolehkan dalam segala keadaan/kondisi.
Para ulama telah mengambil keputusan hukum dari ayat ini akan bolehnya taqiyyah. Yakni, hendaknya seseorang mengatakan atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran, dalam rangka mencegah bahaya yang datang dari musuh, seperti yang berkait dengan jiwa, kehormatan, atau harta.
Barangsiapa mengatakan kalimat kufur karena ditekan dan dipaksa, sedangkan ia berusaha agar tidak dibunuh dan hatinya tetap tenang dengan keimanan, ia bukanlah orang kafir. Bahkan perbuatannya akan diampuni. Seperti misalnya yang terjadi pada Ammar ibnu Yasir, tatkala kabilah Quraisy memaksanya kufur. Kemudian, Ammar melakukannya karena terpaksa. Tetapi hatinya tetap beriman. Dalam hal ini turunlah ayat berikut ini:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman, (dia mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar”. (An-Nahl, 16:106)[6]
Tafsir Tematik tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama dalam soal ini memberikan uraian lebih paradigmatik. Ada dua gerak hermeneutic yang dilakukan dalam tafsir ini. Pertama, bergerak ke belakang merekonstruksi latar belakang historis (bukan sekadar melaporkan kasus individual) dan memahami mekanisme historis serta factor yang melahirkan teks mengenai masalah ini untuk memahami konteks dari pesan yang terkandung dalam ayat yang dimaksud.
Kedua, bergerak ke depan kea rah lokasi sosial penafsir, tetapi bukan dengan maksud untuk memproyeksikan keinginan kontemporer kepada teks-teks tersebut, melainkan untuk menemukan wawasan baru yang memperluas cakrawala, sehingga mampu mengungkap pesan yang lebih dalam yang selama ini mungkin tertutup, atau dalam bahasa Arkoun, tak terpikirkan.
Dengan gerak hermeneutic di atas, Tafsir Tematik al-Qur’an lalu menyimpulkan bahwa berhubungan sosial dengan umat agama lain pada prinsipnya diperbolehkan Islam, sejauh itu mereka tidak menghina dan memperolok Islam, tidak mengingkari kebenaran dan tidak menindas umat Islam. Kesimpulan yang sama juga muncul dalam Tafsir al-Misbah. Larangan menjadikan kaum non Muslim sebagai auliya yang dikemukakan ayat al-Ma’idah [5]:51 tidaklah bersifat mutlak.
Berbeda dengan tiga karya tafsir di atas, Tafsir al-Hijri memberikan arah pemahaman yang bertolak belakang. Kata awliya’ dalam QS. al-Maidah: 51-53 dimaknainya sebagai “pemimpin”. Pemaknaan yang dilakukan didin ini sebetulnya bentuk penyempitan. Sebab, menurut Quraisy, makna dasar dari kata wali adalah “dekat”, yang kemudian berkembang makna-makna baru, seperti pendukung, pembela, pelindung dan seterusnya.
Disebabkan penyempitan pemaknaan itu, Didin dalam kasus ayat ini bicara masalah kepemimpinan. Ujungnya kesimpulan yang ditariknya menjadi ekslusif:
jika kita punya kesempatan untuk memilih pemimpin, dalam level apapun, maka pilihlah orang yang beriman, orang yang muslim, mereka yang shalat dan membayar zakat, dan mereka yang cinta kepada Islam dan kaum Muslim. Bukan semata-mata keahlian, tetapi lebih pada kesamaan aqidah dan keyakinan…Boleh saja memilih pemimpin seorang yang asalnya kafir, dengan syarat mereka sudah bertaubat. Tetapi taubatnya harus sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Nisa’ [4]: 146.
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa Didin memandang pentingnya institusi Islam sebagai kerangka dasar dalam kepemimpinan. Dalam memilih pemimpin, menurutnya keahlian bukanlah hal utama, tetapi keislaman seseorang itulah yang harus didahulukan. Ukuran formalism dan kelembagaan agama, dalam hal ini Islam, kaitannya dengan bersikap dalam ruang sosial politik di Indonesia, tentu akan melahirkan persoalan. Sebab, seperti kita tahu, di samping bukan negara yang secara institusional Islam, Indonesia dalam kenyataannya merupakan Negara yang terdiri dari banyak agama.[7]  


[1] http://tugasmah.blogspot.co.id/2016/05/kepemimpinan-dalam-islam.html
[2] http://kepemimpinan-fisipuh.blogspot.co.id/2009/03/pengertian-pemimpin-dalam-bahasa.html
[3] Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi, III: 175-178.
[4] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, III: 243.
[5] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, III: 248-249.
[6] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi. III: 243-246.
[7] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia. hlm.  370-372.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah kolonialisme dan imperialisme barat Afrika

Kerajaan Perlak