ISLAM DI BENUA AFRIKA

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Islam masuk  ” berawal dari agama Islam karena merupakan agama pembebas bagi kalangan tertindas dan hegemoni ataupun bentuk kekaisaran yang mengendalikan negara-negara bawahannya  dengan kekuasaan yang merupakan penguasa non muslim seperti Romawi dan Persia. Namun, seringkali agama Islam dianggap sebagai agama yang identik dengan darah dan pedang padahal tidaklah terbukti karena Islam merupakan agama pembela bagi kalangan tertindas, termasuk Afrika. Islam disebarkan oleh orang orang Arab, yaitu: Para Tentara, para Khalifah, dan Para pedagang.
            Kemudian terlalu sering pula “dunia Islam” dianggap sebagi Timur Tengah dan hanya itu. Tentu saja Islam bermula di Jazirah Arab dan menjadi kerajaan terbesar di wilayah itu, dari sungai Nil hingga sungai Oxus.[1] Afrika adalah  tempat bermacam macam bangsa dan kebudayaan yang banyak sekali. Afrika adalah negeri dengan pertentangan yang sangat  mencolok dan keindahan yang liar.  Disana juga terdapat banyak masalah termasuk perang, kelaparan, kemiskinan, dan masalah penyakit. Di Afrika terdapat gurun Sahara yang merupakan gurun pasir terbesar di dunia. Gurun itu terbentang mulai dari samudra Atlantik di  barat hongga laut merah di sebelah timur. Sahara meliputi seperempat dari seluruh benua itu

1.2 Rumusan Masalah
a.       Bagaimana islam masuk ke Afrika?
b.      Bagaimana perkembangan islam di Afrika?
1.3 Tujuan
Kita bisa lebih mengetahui bagaimana sejarah atau ceritasingkat mengenai islam di Afrika secara umum serta dampak sosial yang terjadi.


BAB II
     PEMBAHASAN
A.    ISLAM DI BENUA AFRIKA
2.1  A. Islam masuk ke Afrika
Agama Islam masuk ke daratan Afriska pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash memohon kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir.[2]lantaran dia melihat bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas oleh penguasa Romawi dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan untuk membebaskannya dari ketertindasan itu.
Selain alasan diatas Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata militer maupun perdagangan letaknya sangat strategis, tanahnya subur karena terdapat sungai Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin Khattab dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga sekarang. Dia hanya membawa 400 orang pasukan karena sebagian besar diantaranya tersebar di Persia dan Syria.
Setelah Al-Farma jatuh, menyusul pula kota Bilbis, Tendonius, Ainu Syam hingga benteng Babil (istana lilin) yang merupakan pusat pemerintahan Muqauqis. Pada saat hendak menyerbu Babil yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan Muqauqis itu, datang bala bantuan 4.000 orang pasukan lagi dipimpin empat panglima kenamaan, yaitu Zubair bin Awwam, Mekdad bin Aswad, Ubadah bin Samit dan Mukhollad sehingga menambah kekuatan pasukan muslim yang merasa cukup kesulitan untuk menyerbu karena benteng itu dikelilingi sungai. Akhirnya, pada tahun 22 H (642 M) pasukan Muqauqis bersedia mengadakan perdamaian dengan Amru bi Ash yang menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Mesir.
2.1    B. Perkembangan Islam di Afrika
a.        Al-Jazair
Pada abad-16, Abdul Qadir yang ayahya pemimpin thariqat berusaha mendirikan sebuah Negara muslim, pada tahun 1832 ia memproklamirkan sebagai amir al mukmin dan sebagai sultan bangsa arab mengklaim dirinya bertanggung jawab dalam menerapkan hukum Islam di wilayah kekuasaannya. Abdul qadir mengembangkan sebuah administrasi hirarkis bagi negaranya dan ia mengangkat sejumlah khalifah, pejabat militer finansial dan pejabat peradaban. Namun pada tahun 1841, seorang jendral prancis Bugeaud meraih kemenangan absolut dalam mendominasi Aljazair dan Abdul Qadir diasingkan ke perancis dan kemudian ke Damaskus. Prancis memulai pemerintahannya di Aljazair dengan menerapkan sistem Makhzan dan Turki, pada awal tahun1840-an perancis meningkatkan membuka jalan bagi kolonisasi prancis.[3]

Untuk menghadapi kehancuran penduduk mereka, terjadilah perlawanan seru bangsa Aljazair tetapi dalam batas skala lokal. Pada tahun 1849 Bu Zian dari Zaatsha, bangkit menentang sistem perpajakan dan melancarkan pemberontakan terhadap pendudukan perancis. Organisasi perlawanan lokal mendatangkan mekanisme politik untuk menumbuhkan kesatuan di tengah masyarakat pedalaman Aljazair yang selalu diwarnai perpecahan.
 Dari wilayah Tunisia Syaikh Mustafa ibn Azzuz memanfaatkan pertemuannya dalam hubungan kekerabatan untuk mendukung propaganda anti-perancis dan perlawanan di wilayah Constantine dan syaikh pun juga mengadakan perdamaian dengan pihak perancis. Kebijakannya adalah tidak untuk melakukan sebuah peperangan ideologi atau perang agama melainkan untuk menciptakan realitas politik yang terbaik.
Dalam tinjauan kesejarahan beberapa gerakan perlawanan ini menandakan determinasi bangsa Aljazair untuk tidak menerima pemerintahan perancis, tetapi gerakan perlawanan tersebut berakhir dengan kekalahan masyarakat Aljazair oleh kekuatan imperial Eropa. Demikianlah tulang punggung politik dan perekonomian masyarakat Aljazair hancur dan hal ini telah dipesiapkan selama 80 tahun penjajahan perancis dan untuk mengupayakan asimilasi Aljazair kepada identitas Eropa.
Beberapa suku Aljazair dipaksa meninggalkan atau mendiami kembali beberapa distrik selatan untuk membuka jalan bagi koloni perancis. Kehancuran masyarakat Aljazair semakin parah oleh kolonisasi perancis secara besar-besaran. Perampasan tanah dan sejumlah perundang-undangan pertanahan yang baru memungkinkan bagi pengembangan sebuah koloni Eropa atau koloni perancis yang sangat besar.
Koloni Eropa dan Perancis di Aljazair menghendaki agar Aljazair di asimilasikan sebagai bagian integral dari perancis. Selama beberapa dekade perancis telah berjuang dan akhirnya meraih penguasaan terhadap pemerintahan Aljazair dan integrasi Aljazair ke dalam sistem politik perancis. Hasil akhir ini ditentang oleh pihak militer perancis, yang mana kubu militer sendiri ingin memerintah Aljazair dan menentang pembentukan sebuah pemerintahan sipil bagi warga kolonial. Dominasi perancis terhadap masyarakat Aljazair benar-benar sempurna, namun secara paradoks, pemerintah kolonial melahirkan beberapa kondisi bagi pembangkitan perlawanan dan tuntutan bangsa Aljazair menuju kemerdekaan.[4]
 Penduduk Aljazair yang kacau-balau dan miskin, pembatasan terhadap tanah perbatasan, pelumpuhan kepemimpinan kesukuannya, kebersamaan para elite agama, kekalahan perlawanan militernya, sama sekali tidak dapat dilahirkan kembali.
Setelah perang dunia I kebijakan perancis secara tidak langsung membangkitkan perlawanan bangsa Aljazair. Pihak perancis menawarkan kewargaan perancis kepada umat muslim jika mereka berkenan melepaskan hukum perdata muslim. Warga pemukiman Aljazair mendesak pemerintah perancis untuk membatalkan sejumlah konsesi ini, dan kewargaan tidak terhadap konsep perancis tentang keadilan, persamaan, dan kewargaan yang tetap dipegangi di kalangan intelektual muslim. Elite pribumi Aljazair terdiri tiga komponen utama, yaitu:
1.      Para lulusan sekolah Arab-Perancis yang mengharapkan berintegrasi sepenuhnya ke dalam masyarakat perancis, meskipun mempertahankan identitas hukum dan sosial mereka sebagai muslim. Pada tahun 1930 pembentukan organisasi federasi perwakilan muslim menuntut persamaan di bidang militer, pendidikan, dan didalam pengangkatan jabatan pemerintahan, dan menuntut penghapusan seluruh upaya yang men-diskriminasikan warga muslim.
2.      Pada tahun 1920 dan 1930 lebih radikal dan berorientasi nasionalis dan berkembang di kalangan emigres Aljazair di paris. Pada tahun 1926 membentuk partai komunis perancis,gerakan ini mengkomunikasikan kepada bangsa Aljazair aspirasi mendirikan sebuah parlemen Aljazair sebagai cikal bakal bagi sebuah bangsa yang merdeka, namun pada tahun 1936 beralih kepada cita-cita pan-Arab menyerukan kemerdekaan Aljazair yang berakar pada nilai-nilai islam dan untuk menjalin persahabatan dengan bangsa arab.
3.      Elite baru Aljazair adalah tokoh tokoh gerakan reformasi islam, yang mengadaptasikan skripturalisme islam dengan kebutuhan nasionalis Aljazair. Reformasi muslim mencapai Aljazair sebagai hasil dari kontak dengan Muahmmad Abduh dan dengan para reformen muslim di Tunisia, tetapi belum tampak jelas hingga setelah perang dunia I. Lahirnya para reformen akhirnya mendesak kalangan marabout kepada kerja sama dengan pihak perancis sehingga semakin mengacaukan posisi mereka. Di sisi lain keramahan politik perancis membangkitkan berbagai kecemasan yang mana kedekatan hubungan dengan perancis agaknya menggoda pihak muslim untuk berasimilasi.
Konstitusi Aljazair berusaha memadukan antara kedua orientasi ini dengan menyatakan Aljazair sebagai sebuah negeri Arab-Islam dan sebuah republik demokratik. Islam di Aljazair melepaskan kontrol negara dan mendapatkan kapasitas untuk mengartikulasi perlawanan terhadap berbagai kebijakan negara.
b.      Kairouan
Kairouan merupakan kota baru terletak di Afrika Utara. Kota ini dibangun pada masa Dinati Umayyah.[5] Aqobah bin nfuh yang telah diangkat oleh Khalifah muawiyah bin abi sufyan menjadi gubernur afrika, memindahkan ibu kota wilayah afrika dari barkoh ke suatu desa yang bernama kairouan. Dan di bangunlah ditempat itu ibu kota baru bagi wilayah afrika yang juga dinamakan kairowan.
Sesuai dengan kota-kota islam yang lain, kairowan dibangun dengan gaya arsitektur islam, yang dilengkapi dengan berbagai gedung, masjid, taman, daerah perdagangan, daerah perindustri, daerah mileter dan sebagainya. Di kota kairouan terdapat masjid kairowan yang dibangun pada masa khalifah hisyam bin abdul malik oleh aqobah, gubernur afrika utara. Masjid ini adalah masjid yang termasyhur, masjid ini mengalami perbaikan dan pelebaran oleh para gubernur yang bersilih berganti. Masjid ini menjadi kebanggaan kaum muslimin di afrika utara. Afrika utara, terutama dengan qubah nya yang terkenal dengan “Qubahtul Bahwi”.  Kota kairouan kemudian menjadi kota internasional, karena didalamnya berdiam bangsa-bangsa arab, bar-bar, persia, romawi, dan lain-lain. Kairawan juga merupakan kota pusat ilmu, disamping sebagai kota militer.                  (Masjid Agung kairouan)
c.        Maroko
Maroko adalah sebuah negara yang merdeka yang mempunyai kemampuan bertahan sebagai sebuah rezim otoritasnya didasarkan kombinasi antara symbol khilafah dan sufi, meskipun negara ini sangat kesulitan dalam mempertokoh otoritasnya di wilyah pedesaan atau pedalaman. Adapun kelas politik menengah, Maroko seperti kebanggaan tuan tanah bangsawan, yang mana pada masyarakat timur tengah lainnya mereka menghendaki kekuasan negara yang memusat.
Penetrasi ekonomi bangsa Eropa terhadap Maroko pada akhir abad ke-19menggoyang negaraMaroko dan menyebabkan terbentuknya protektorasi Perancis dan Spanyol pada tahun 1912. Beberapa wilayah selatan Atlas tetap berada di luar penguasaan langsung Perancis dan berada di bawah kewenangan kepala-kepala suku bawahan. Beberapa tokoh suku besar, seperti Mtouggi, Gundafa, dan Glawis, menguasai surplus pertanian, menguasai lintas batas pegunungan Atlas, dan menguasai keuntungan lalu lintas karavan.
Prancis membawa para elite muslim di bawah kontrol mereka, sebagian besar zawiyah sufi menerima otoritas Perancis, membantu dalam menundukkan wilayah kesukuan kepada pemerintahan pusat, dan menjaga perdamaian antara penduduk pastoral yang berpindah-pindah di pegunungan Atlas, sebaliknya prestise sufi merosot sebagaimana merosotnya peran politik mereka, dan mereka digantikan oleh administrator pemerintah.
Kebijakan sosial dan pendidikan Lyautey juga dimaksudkan untuk mendukung Perancis terhadap Berber untuk mendapatkan dukungan terhadap pemerintah Perancis, dan menganggap Berber sebagai non-arab yang dapat dipisahkan dari masyarakat umum Maroko dan diharapkan mereka bersekutu kepada Perancis dan membatasi pengaruh arab dan islam.
Dominasi Perancis secara ekonomi dan politik pada negara Tunisia dan Aljazair tampaknya berjalan lancar meskipun hal ini tidak menumbuhkan kondisi kultural dan sosial yang mendukung bagi terbentuknya sebuah gerakan oposisi. Pemerintah Perancis turut menyokong hancurnya struktur tradisional masyarakat Maroko.
Di Maroko, dibeberapa tempat lain, perang Dunia II benar-benar memperlemah kekuatan Perancis dan mengantarkan pada terbentuknya partai Istiqlal (kemerdekaan) tahun 1943, untuk sampai di barisan terdepan dan berusaha menggalang dukungan massa bagi kemerdekaan Maroko. Dengan meraih kembali kemerdekaan, Sultan kembali menjadi figur politik yang dominan. Sistem protektorasi juga telah menempatkan sultan pada kedudukan politik dan administrasi yang tinggi. Maroko tetap bertahan sebagai negara paling konservatif dan menyatu di antara negara-negara Timur Tengah dan Arab Afrika Utara.
Islam di Maroko begitu kuatnya didentifikasikan dengan kerajaan dan negara sehingga ia membetuk identitas nasional bangsa Maroko. Bukanlah berarti bahwa nilai-nilai islam tidak dapat dimanfaatkan untuk menentang rezim ini.
d.  Kairoh (Mesir)
Setelah panglima jauhar asyiqilih menduduki mesir pada tahun 358 H, maka ia mengambil keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari fustat, ke kota yang akan dibangun. Pada tanggal 17 sya’ban 358 H (969 M)  jauhar Assyiqilih memulai pembangunan kota baru untuk menjadi ibu kota dinasti fatimiyah. Kota ini mula-mula bernama Mansyurya dinisbatkan kepada mansur al mu’iz lidinilah. Setelah muiz sendiri sampai dimesir namanya sendiri rubah menjadi Qohirah Mu;iziyah. Wilayah dinasti fatimiyah meliputi afrika utara, sisiliyah, syiriah. Setelah pembangunan kota kairoh selesai lengkap dengan istananya, jauhar asyiqilih mendirikan masjid Al Azhar pada tanggal 17 ramadhan 359 H. [6]
            Kota kairoh mengalami puncak kejayaan pada masa dinasti fatimiyah, yaitu pada masa pemerintahan salahudin al ayubi, pemerintahan baibars, dan pemerintahan annasyhir pada dinasti mamalik. Periode fatimiyah dimulai dengan al mu’iz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan al ma’jiz.
            Dinasti fatimiyah dapat ditumbangkan oleh dinasti ayyubiyah yang didirikan oleh salahudin al ayubi. Seorang pahlawan dalam perang salib salahudin tetap mempertahankan lembaga – lembaga ilmiyah yang didirikan oleh dinasti fatimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari syiah menjadi ahlusunah.[7]
          






BAB III
      KESIMPULAN
Masuknya islam di Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khotob pada saat amr bin ash menyerang Mesir pada tahun 640 SM. Setelah menakluakn Mesir, kemudian ekspansi ke daerah Iskandariyah (Alexander), setelah Iskandariyah berhasil ditaklukan kemudian ke daerah Shahara (Libia). Islam di Aljazair melepaskan kontrol negara dan mendapatkan kapasitas untuk mengartikulasi perlawanan terhadap berbagai kebijakan negara.

















DAFTAR PUSTAKA
1.      abdul umar,  jabbar. 2011.  khulashoh nurul yaqin jilid 3. Jakarta:  Mega Jaya.
2.      Alkhateeb firas. 2006. Sejarah Islam yang Hilang. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka..
3.      Munir Amin,Samsul. 2009. Sejarah Peradab Islam. Jakarta : Amzah.


[1] Alkhateeb Firas, Sejarah Islam yang Hilang (Sleman Yogyakarta:PT Bentang Pustaka), hlm 187.
[2] Jabbar abdul umar, khulashoh nurul yaqin jilid 3 (mega jaya, april 2011)
[3] Ibid. Hlm 280
[4] ibid
[5]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradab Islam, (Amzah, jakarta 2009) hlm. 288
[6]ibid., hlm.286
[7]Ibid.,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah kolonialisme dan imperialisme barat Afrika

Kerajaan Perlak