AKTUALISASI NILAI PANCASILA DAN SPIRIT NASIONALISME DI ERA GLOBALISASI
AKTUALISASI NILAI PANCASILA DAN SPIRIT NASIONALISME
DI ERA GLOBALISASI*)
Ngatawi
Al-Zastrouw**)
A,
Selintas Konsep Globalisasi
Ada
puluhan rumusan konsep globalisasi dari para ahli. Berbagai definisi ini mencerminkan
perspektif keilmuan dan concern masing-masing ahli sesuai dengan disiplin
ilmunya. Dalam perspektif ekonomi, globalisasi dilihat pada aspek pertukaran, uang, korporasi, perbankan,
capital; Ilmu politik akan melihat globalisasi pada persoalan pemerintahan,
perang, perdamaian, IGO, NGO, rezim; Sosiologi lebih concern pada persoalan komunitas, konflik, kelas, bangsa, persetujuan;
masalah individu sebagai subjek dan objek dari aksi global akan menjadi
perhatian pada ilmu psikologi; aspek-aspek budaya yang saling bertindihan,
beradaptasi, bertabrakan, bersatu menjadi pusat kajian dari antropologi;
sedanngkan ilmu komunikasi lebih concern pada informasi sebagai pengetahuan dan
alat.
Dalam
paparan ini penulis hanya akan merujuk pada Scholte mengenai globaalisasi. Ini
penulis lakukan untuk membatasi agar pengertian bisa lebih focus dan mendalam.
Selain itu menurut penulis pemikiran Scholte ini lebih konprehensif. Dalam
rumusan Scholte (2000) sebagaimana dikutip Saepudin (2011) ada lima katagori
besar dalam konsep globalisasi, yaitu
- Globalisasi adalah Internasionalisasi; pengertian ini lebih menggambarkan terjadinya hubungan antar Negara yang melampaui sekat-sekat geografis karena arus pergerakan dan pertumbuhan capital litas negara. Dalam konteks ini Paul Hirst dan Grahame Thomson mendefenisikan istilah globalisasi sebagai ‘large and growing flows of trade and capital investment between countries’ (Hirst and Thompson, 1996:48)
- Globalisasi sebagai liberalisasi. Definisi globalisasi dalam katagori ini lebih menekanakan pada aspek ekonomi karena menggambarkan globalisasi sebagai proses infiltrasi ekonomi internasional (Sender, 1996; 27) yang memunculkan kebijakan free tade. Kebijakan ini menuntut adanya keterbukaan tanpa batas Negara agar arus ekonomi bisa bergerak secara bebas tanpa adanya hambatan.
- Globalisasi adalah Universalisasi; dalam perspektif ini globalisasi dipandang sebagai proses menyebarnya berbagai barang, jasa, ilmu pengetahuaan dan kebudayan lintas lintas Negara sebagai akibat kemajuan tehnologi informasi dan transportasi yang menghilangkan jarak anatara satu negara/wilayah dengan Negara/wilayah lain (Raiser and Davies, 1940 dikutip dari Scholte, 2000).
- Globalisasi adalah westernisasi atau modernisasi atau bahkan Amerikanisasi (Spybey, 1996; Taylor, 2000). Di kalangan Negara-negara dunia ketiga yang secara social ekonomi masih lemah, globalisasi dianggap sebagai kolonialisme gaya baru. Ini terjadi karena globalisasi dilihat sebagai penyebaran struktur-struktur organisasi social dari modernitas (Kapitalisme, rasionalisme, industrialism, birokratisme, dan lain-lain) ke seluruh penjuru dunia, hingga merusak tatanan budaya dan nilai-nilai local masyarakat dunia ketiga. Dalam perspektif ini globalisasi tidak hanya dilihat sebagai persoalan ekonomi tetapi juga persoalan social budaya.
- Globalisasi adalah deteritorialisasi atau superteritorialisasi. Dalam perspektif ini Globalisasi dipahami sebagai hilangnya sekat-sekat territorial secara fungsional, meski secara factual-formal sekat-sekat tirotgial; batas dan jarak masih ada. Dalam konteks hal ini Held dan MCGrew mengartikan globalisasi sebagai a process or set of process which embodies a transformation in the spatial organization of social relations and transaction (Held et all,. 1999:16). Kata global demikian merujuk pada sesuatu yang menyinggung sekaligus mencakup keseluruhan dari setiap hal serta sesuatu yang komprehensif dan total yang di dalamnya memuat keterlibatan keseluruhan entitas dunia.
Dari kelima katagori definisi globalisasi ada beberapa hal
yang bisa dicatat; pertama, globalisasi telah menganmputasi peran Negara yang
sentral di hadapan individu, Negara tidak lagi menjadi actor tunggal dalam
relasi dan teraksi lintas negara. Di era globalisasi tidak hanya sekat-sekat
geografis dan territorial negara yang menjadi samar, tetapi juga peran Negara
menjadi berkurang digantikan oleh berbagai korporasi, unit-unit bisnis bahkan
individu. Berbagai kesepakan, keputusan dan kontrak yang dibuat oleh
lembaga-lembaga bisnis, korporasi maupun komunitas social internasional bisa
mempengaruhi dan menekan suatu Negara untuk menjalankannya. Kedua, munculnya
iklim persaingan bebas lintas Negara dan komunitas. Globalisasi memberikan
ruang dan akses yang sama kepada semua pihak untuk melakukan kontestasi dan
berkompetisi secara bebas dan terbuka. Secara normativ, globalisasi tidak
mengenal adanya yang kuat dan yang lemah, antara negara maju dan berkembang
atau terbelakang. Masing-masing harus melakukan kompetisi dengan posisi yang
sama. Ketiga, globalisasi telah menyebabkan terjadinya resonansi aktivitas-aktivitas
social, politik, dan ekonomi disuatu belahan dunia terhadap belahan dunia
lainnya. Berbagai kejadian social poltik,
berbagai aktivitas individu maupun komunitas yang terjadi dia suatu
tempat di Negara yang ada di belahaan
dunia lain denngan mudah menyebar dan memberikan pengaruh pada individu maupun
komunitas yang ada di dibelahan dunia lain.
Kondisi ini nenuntut terjadinya perubahan tata nilai, social
dan budaya masyarakat dunia. Kompetisi lintas yang terjadi secara cepat dan
radikal. Tata nilai, budaya dan struktur social masyarakat di berbagai belahan
dunia dipaksa berubah untuk bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan,
karena dalam globalisasi berlaku hukum
Darwinisme social, artinya masyarakat yang tidak mampu melakukan perubahan dan
penyesuaian akan tergerus dilindas zaman. Di sini kreatifitas untuk mewujudkan
daya tahan kebudayaan menjadi sangat penting agar suatu bangsa bisa bertahan.
Secara hostoris. Sebenarnya globalisasi ini sudah terjadi
sejak beberapa abad silam. Beberapa sejarawan mencatat, beberapa abad yang lalu
sudah terjadi interaksi masyarakat antar benua karena urusan dagang dan
tugas-tugas suci penyebaran agama. Ketika orang Mongol melakukan ekspansi ke
Barat dan menguasai Eropa. Saat arus
perdagangan yang membentuk jalur Sutra
dan jalur Rempah yang menghubungkan Nusantara dengan daratan Asia dan kawasan
Timur Tengah sampai masuknya budaya India, Arab, China dan Eropa ke Nusantara
yang membawa agama Hindu-Buddha, Islam dan Kristen pada dasarnya juga merupakan
bagian dari globalisasi. Jadi globalisasi yang terjadi saat ini sebenarnya
merupakan lanjutan dan pengulangana sejarah masa lalu dengan format dan
kecepatan yang berbeda karena dukungan tehnologi dan ilmu pengetahuan. Ini
sesuai dengan pandangan kelompok yang melihat globalisasi secara skpetis (David
Held, dkk, 1992)
B. Globalisasi dan Gerakan Radikal
Dalam
globalisasi terkandung spirit one world,
one society with different culture Kedengarannya konsep ini sangat mulia, karena
memberikan haka yang sama kepada semua orang untuk melakukan kontestasi budaya
dan ekonomi secara fair dan terbuka, tanpa campur tangan siapapun termasuk
kekuatan Negara. Tapi secara factual globalisasi justru menjadi mesin penghacur
yang melindas berbagai tradisi dan kekeuatan social budaya yang lemah dan
terpinggirkan. Bagaimana mungkin suku Baduy atau suku Amungme dapat
berkompetisi dengan ras Anglo Saxon (Amerika) atau ras Aria (Jerman) di pasar
bebas dimana seluruh perimbangan kecerdasan manusianya sangat timpang.
Sementara hak pengelolaan bumi, barang tambang dan perdagangan mereka sama.
Sebagaimana
disinyalir Spybey, (1996); Taylor (2000), globalisasi lebih merupakan gerakan
westernissasi sebagai cerminan dari tumbuhnya kolonialisme gaya baru. Ini
terjadi karena karena adanya relkasi yanag tidak seimbang antara yang kuat dan
yang lemah dalam medan pertarungan bebas. Akibatnya Negara-negara dan
masyarakat yang lemah dan terbelakang menjadi sasaran Negara-negara maju yang
kkuat baik secara ejonomi maupun kebudayaan.
Bagi
Negara maju globalisasi memiliki nilai posisitif karena bisa memberikan
keuntungan yang besar. Berkat globalisasi perusahaan-perusahaan internasional
(TNC) tumbuh dengan pesat. Data Masur Fakih menunjukkan TNC berkat globalisasi
TNC menguasai 67%perdagangan antar dunia antar TNC, menguasai 34,1% dari total perdagangan Global dan 75%
dari total investasi global serta mampu mengontrol 75% perdagangan dunia
(Fakih, 2001:214).
Tapi
sebaliknya karena globalisasi terjadi kesenjangan hidup yang makin melebar
antara negara maju dengan negara berkembang. Memunculkan
perusahaan-perusahaan raksasa yang melakukan eksploitasi sumber daya alam dan
mansia di negara-negara miskin dan berkembang. Tidak hanya itu,
perusahaan-perusahaan raksasa ini juga melakukan campur tanagan politik di negara
berkembang demi mengamankan kepentingan bisnis mereka.
Selain
persoalan ekonomi dan politik, globalisasi juga memunculkan persoalan social
budaya bagi Negara-negara berkembang yang kebudayaannya dianggap lemah dan
terbelakang. Globalisasi telah menjadikan negara-negara berkembang menjadi
tempat pemnbuangan sampah peradaban, seperti tercermin dalam munculonya gerakan
radikal dan teroris yang sebenarnya merupakan resonansi dari kerakan ekonomi
politik Negara maju. Artinya gerakan radikal dan troris adalah bagian dari
sampah kebudayaan sebagai pertarungan bisnis dan politik Negara-negara
maju (A. Maftuh dan Yani, 2004)
Dalam
konteks globalisasi Indonesia saat ini berada dalam pusaran karena banyaknya
kepentingan global yang sedang bermain di Idonesia. Posisi ini tidak lepas dari
posisi Indonesia yang memiliki nilai strategis, baik secara geografis (untuk kepentingan pertahanan dan
geopolitik Internasional); demografis (kepentigan pasar) dan sumberdaya alam
(kepentingan material/ekonomi)
Akibatnya,
kondisi Indonesia saat ini seperti
Padang Kurusetro, menjadi medan pertempuran Bharata Yuda dalam kisah
Mahabarata. Bahkan lebih rumit dan complicated karena pertarungan yang terjadi tidak hanya pertarungan
bipolar (Pandawa vs Kurawa) tetapi multy polar; Ideologi (komunisme,
kapitalisme, materialisme, fundamentalisme), budaya (pragmatis, konsumeris,
tradisionalis, modernis) dan agama (puritan, ekstrim, mederat). Diantara ekspresi pertarungan multy polar
adalah munculnya gerakan dan ideologi Liberalisme, Komunisme dan Terorisme yang
saling bertarung di Indonesia
Salah satu fenomena menarik namun membahayakan yang
muncul saat ini adalah tumbuhnya kelompok radikal dan sikap intoleran yang merasuki
mental dan pola pikir generasi muda, terutama di kalangan pelajar dan
mahasiswa. Yang dimaksud kelompok
radikan di sini adalah orang yang menganut pemutlakan atau absolutism pemahaman
agama, tidak toleran terhadap pemahaman dan keyakainan yang berbeda; memaksakan
pandangannya pada orang lain; memusuhi dan membenci orang lain karena berbeda
pandangan; mendukung pelarangan pemahaman dan keyakinan agama lain yang
berbeda; membenarkan cara-cara kekerasan terhadap orang lain yang berbeda
pemahaman dan keyakinan agama; menolak dasar Negara Pancasila sebagai landasan
hidup bersama bangsa Indonesia dan/atau menginginkan adanya dasar Negara Islam,
bentuk Negara Islam atau Khilafah Islamiyah (Holland Taylor, 2007)
Meningkatnya kelompok radikal yang intoleran ini
tercermin dari hasil riset yang menunjukkan mayoritas mahasiswa, pelajar dan
masyarakat menginginkan penerapan syariat Islam dan ideologi Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Data SEM Institut yang melakukan penelitian
tahun 2009 menunjukkan 72 persen masyarakat Indonesia setuju penerapan syariat
Islam, 18 persen tidak setuju dan 10 persen netaral. Hasil penelitian Lembaga
Kajian GMPI yang melakukan survey di kalangan mahasiswa di kampus-kampus Besar
di Indonesia (UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Unibraw, Unpad, Unhas, Unand,
Unsri, Unsiah)
menunjukkan 80 persen mahasiswa Indonesia menginginkan syariah Islam, 15 persen sosialis dan 5
persen Pancasila. Sedangkan Lembaga Kajian Islam dan Pembangunan (LaKIP)
menunjukkan 76 persen pelajar di Jabodetabek menginginkan syariah Islam, 17 persen
ideologi fanky dan 7 persen Pancasila.
Survey Wahid Foundation (WF) bekerjasama dengan Lembaga Survey Indonesia
(LSI) yang menunjukkan dari total 1.520 responden sebanyak 59,9 persen memiliki
kelompok yang dibenci yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa,
komunis, dan selainnya. Ini artinya 59,9 persen resonden memiliki rasa benci
terhadap nonmuslim, etnis Tionghoa, Komunis dan oran-orang yang berbeda dengan
mereka. Dampak dari rasa benci itu
membuat mereka tidak setuju jika anggota kelompok yang mereka benci itu menjadi
pejabat pemerintah Indonesia. Ada 92,2 persen dari jumlah 59,9 persen yang
bersikap demikian. Selain menolak menjadi pejabat, sebanyak 82,4 persen dari mereka tidak rela
jika anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.
Data lain dari survey WF dan LSI
menunjukkan sebanyak 49 persen masyarakat Indonesia berpotensi bersikap
intoleran, baik terhadap sesama muslim maupun non muslim. Sikap ini antara lain
bisa berupa ketidakrelaan bertetangga dengan kelompok-kelompok yang dibenci
maupun ketidaksukaan terhadap kelompok yang dibenci mengisi jabatan-jabatan
publik. Sementara sebanyak 43,4 persen responden bersikap netral (cenderung
toleran), 0,6 persen toleran, 7 persen bersikap netral cenderung intoleran.
Dalam survey ini juga diteliti sikap toleransi dan intoleransi umat Islam
terhadap non muslim. Hasilnya, 40,4 persen responden menjawab bisa toleran,
38,4 persen menjawab bersikap intoleran.
Dari survey ini juga terlihat 7,7 persen responden menyebut bersedia
melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan. Sementara 0,4 persen responden
menyebut pernah bertindak radikal yang mengatasnamakan agama, semisal sweeping,
penyerangan tempat ibadah non muslim, dan menyumbang materi untuk kegiatan
radikal. Sisanya 19,9 persen tidak punya sikap. Meskipun dari segi prosentasi
masih terlihat kecil, namun ini merupakan potensi cukup mengkhawatirkan. Jika
angka ini diproyeksikan terhadap sekitar
150 juta muslim Indonesia, maka 7,7 persen atau 11,5 juta orang berpotensi bertindak
radikal dan 0,4 persen atau 600 ribu bersedia melakukan tindakan radikal.
Angka-angka ini merupakan warning bagi bangsa Indonesia agar tetap waspada
menghadapi radikalisme agama.
Data-data ini menunjukkan ada korelasi yang
signifikan antara sikap intoleran dan kecenderungan radikal dengan pilihan
ideologi. Semakin tinggi keinginan menerapkan syariah Islam semakin tinggi
kecenderungan bersikap intoleran dan radikal. Selain itu, data-data di atas
juga menunjukkan keberhasilan gerakan Islam puritan skripturalis fundamentalis
dalam melakuakan brain wash kepada
generasi muda dan mahasiswa, sehingga anak-anak muda ini bisa terperangkan
dalam gerakan radikal dan pemikiran yang eksklusif-intoleran. Ini merupakan
ancaman yang membahayakan bagi keberagaman yang ada di NKRI.
Dalam kondisi demikian peran dan posisi
Perguruan Tinggi agama Islam (PTAI) menjadi sangat strategis karena menjadi
ujung tombak dalam perang kebudayaan dan pemikiran keagamaan. Ini terjadi
karena PTAI merupakan lembaga akademik yang bersentuhan langsung dengan
pemikiran keagamaan yang menjadi ligitimasi gerakan kaum radikal intoleran.Sebagai
lembaga akademik yang berbasis dan
bercorak agama, PTAI memiliki otoritas moral, intelektual dan teologis untuk membendung dan menangkal pemikiran
keagamaan membahayakan bagi Negara dan kemanusiaan.
C. Nilai-nilai
Pancasila dan Spirit Kebangsaan Sebagai Kekuatan Penangkal Radikalisme dan
Globalisai
Pancasila
adalah dasar dan ideologi Negara. Penetapan Pancasila sebagai dasar Negara merupakan
kesepakat seluruh kompenen bangsa termasuk ummat Islam yang diwakili oleh para
ulama. Penetapan Pancasila sebagai dasar Negara ini memiliki dua makna penting,
pertama Pancasila adalah produk ijtihad Para ulama. Dalam pandangan ulama
Nusantara Pancasila adalah sublimasi dan integrasi dari syariat, aqidah
Islamiah dan tasawwuf. Sebagaimana dinyatakan KH. Abdul Hamid Kajoran: “Barang
siapa bisa mengamalkan dua sila dari Pancasila (sila Ketuhanan dan Kemanusiaan)
secara istiqamah maka orang tersebut sudah bisa menjadi Wali”.[1]
Para ulama juga berpendapat bahwa seluruh sila-sila yang ada dalam Pancasila
merupakan cerminan dari ayat-ayat al-qur’an
dengan demikian dia wajib dijalankan.
Kedua,
penetapan Pancasila sebagai dasar Negara, mengintegrasikan hubungan antara
Nnasionalisme dan Agama, artinya tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan
ketetapan ini kebangsaan memiliki pijakan teologis yang jelas, karena spirit
kebangsaan dianggap sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran dan syariat Islam.
Selain
memiliki dasar teologis, Pancasila juga memiliki dasar sosiologis dan etik yang
kuat. Sebagaimana dinyatakan oleh Bung Karno Bahwa Pancasila ini digali dari
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia (Yudi Latif, 2011). Sebagai ideologi yang bersumber dan berakar
dari masyarakat Nusantara, dengan sendirinya Pancasila memiliki kesesuaian
dengan konstruki social dan pemikiran bangsa Indonesia, dengan demikian dia
akan lebih mudah diamalkan dan dikembangkan jika aktualisasikan secara tepat.
Berbagai
nilai yang terkandung dalam Pancasila diantaranya adalah; pertama nilai religius. Agus
Sunyoto (2011) menjelaskan jauh sebelum masuknya agama-agama di Nusantara
bangsa Nusantara telah memiliki keyakinan adanya sesuatu yang maha, yang
mengatur kehidupan alam dan seisinya. Kedua, toleran (tepo sliro) dan moderat.
Hal ini dibuktikan dengan adanya keberagaman yang ada di negeri ini. Memang
sering timbul konflik dan perpecahan namun bangsa Indonesia selalu memiliki
kemampuan untuk melakukan rekonsiliasi dan integrasi sehingga kebergaman yang
ada bisa dijaga dan dirawat hingga saat ini.
Ketiga, nilai gotong royong
(solidaritas). Nilai gotong royong ini tercermin dalam adat dan tradisi
masyarakat Nusantara, misalnya tradisi Alang
Tulung yang berlaku di masyarakat Gayo (Yusuf Effendy, 2011), tradisi marsialapari
di kalangan masyaakat Mandailing, yaitu tradisi untuk saling bantu-membantu,
bekerjasama dan bergotong-royong dalam mengerjakan sawah (Harvina, S.Sos, 2013).
Di kalangan masyarakat Jawa gotong royong ini bahkan telah menjadi bagian dari
warisan tradisi adiluhung (Gesta Bayuadhy, 2015). M. Nasroen (1967), mengatakan
bahwa gotong royong adalah dasar Falsafah Indonesia. Dengan kata lain bahwa
gotong royonglah yang menjadi ciri utama manusia Indonesia pada umumnya. Sejak
berabad-abad yang lalu masyarakat Indonesia telah menciptakan konsep gotong
royong ini.
D. Peran Mahasiswa Dalam Aktualisasi
Pancasila
Mahasiswa
menempati peran yang strategis dan penting dalam menghadapi arus globalisasi
yang menuntut kecerdasan pikir dan integritas yang tinggi. Ini artinya
mahasiswa dituntut untuk mampu menggali
dan mengaktulisasikan nilai-nilai Pancasilaa dan spirit kebangsaan agar
memiliki fungsi yanag efektif dalam menjawab tantangan globalisasi. Peran ini sebanding
dengan jati diri mahasiswa sebagai pemuda dan sekaligus cendekiawan/intelektual.
Sebagai pemuda, mahasiswa memiliki peran
sebagai dinamisator dalam perubahan social. Dalam konteks sejarah Indonesia
peran pemuda ini bisa dilacak dari perkembangan peradaban Nusantara. Pada era
kerajaan pemuda menjadi sosok penting dalam transformasi sosial seperti
tercermin dalam diri Ken Arok (perintis raja-raja Singosari, Doho, Kediri), R.
Wijaya (pendiri Majapahit), R. Patah (Kesultanan Demak) Danang Sutowijoyo
(perintis Mataram Islam) (Lih. Nugroho Notosusanto dkk). Di era kolonial muncul Ranggawarista, Pangeran Abdul Hamid
(Diponegoro) (Lih. Peter Ceery), Hasanuddin, Syech Yusuf al-Makassari dan
lain-lain yang memimpin gerakan sosial dalam usia yang masih muda
Di
era pergerakan Nasional muncul sosok Soekarno, Wahid Hasyim, Ki Hajar
Dewantoro, M. Yamin, J. Leimena, Soegondo, Soetomo dan lain-lain yang melakukan
tindakan revolusioner untuk memerdekakan bangsanya, yang oleh Ben Anderson
(1972) kemudian dikenal dengan sebutan “Revolusi Pemuda” . (Lih. Juga R.Z.
Leirissa dkk., 1989; M.C. Ricklefs, 2005 dll.).
Sebagai
intelektual, mahasiswa memiliki peran sebagai innovator dan motivator dalam
perubahan social. Dalam sejarah
Indonesia, peran bisa dilacak sejak era kerajaan yang memberikan peran penting
pada para cendekiawan (resi/mpu) (lih. Kitab Negara Kretagama) hingga muncul
nama-nama Resi Walmiki, mpu Baradah, mpu Tantular dan Sebagainya (Slamet
Muljono, 1965; Nugroho, dll.)
Pada
era kolonial peran cendekiawan bisa dilihat pada gerakan para ulama Hijaz (A.
Mas’ud, 2006; Amirul Ulum 2014 dll.), gerakan pemikiran Pujangga Kraton yang
melahirkan berbagai krya-karya hebat (Ahmad Baso, 2013, 2015a; ). Kemudian pada era gerakan nasional peran para intelektual
dalam gerakan social social juga sangat dominan. Mereka terlibat dalam berbagai
diskusi intens untuk merumuskan gerakan (Ahmad Baso, 2015b; J.D. Legge, 1993;
dll.) Pada era pasca kemerdekaan peran cendekiawan masih sangat strategis untuk
mempertahankan, menjaga dan mengisi kemerdekaan, meski untuk memainkan peran
tersebut kadang harus berbenturan dengan kekuasaan (lih. Daniel Dhakidae, 2003;
John Maxwell, 2005; Milal, 2013). Penulis memasukkan ulama, resi dan pujangga
keraton dalam katagori intelektual/akademisi, karena mereka adalah pelaku dan
menjaga akademik pada zamannya melalui lembaga pendidikan keilmuaan di
pesantren dan sanggar/ padhepokan.
Peran
dan gerakan intelektual ini secara normatif dijelaskan oleh para pemikir
seperti Adward W Said (1998), Edward Shils (1960), Harry J. Benda, 1984;
Gramscy dll). Dalam menjalankan perananya sebagai agen perubahan sosial para
intelektual ini melakukan gerakan mulai dari gerakan pemikiran sampai turun
praktis dalam gerakan jalanan. Bahkan
banyak diantara mereka yang dipenjara dan disiksa.
Sebagai
sosok yang memiliki identitas ganda, sebagai pemuda dan intelektual dengan
posisi social yang tinggi, maka mahasiswa juga memiliki peran ganda sebagai
dinamisator dan innovator perubahan.
Meski
keberadaan mahasiswa Indonesia baru muncul setelah adanaya politik etis, karena
kesempatan memperoleh pendidikaan tinggi untuk pribumi baru dibuka setelah
lebijakan politik etis, namun ereka langsung terlibat aktif dalam gerakan
social, terutama dalam upaya membangkitkan spirit nasionalisme (G. Mc.T Kahin,
2003, F. Roillon, 1985). Para mahasiswa berdebat merumuskan pemikiran soal
kebudayaan Indonesia (Akhdiat K. Miharja; 1986). Setelah Indonesia merdeka
mahasiswa tetap melakukan diskusi dan pedebatan intelektual secara kritis seperti tercermin dalam peneyelenggaraan
koferensi konferensi kebudayaan di Hannef, Jerman pada tahun 1955 yang membahas
strategi kebudayaan Indonesia dalam era kemerdekaan (D.A Parensi; 1985). Tidak
hanya diskusi, mereka juga terlibat gerakan revolusioner tahun 1966 (Ali. F; 1985; Poesponegoro dan Nugroho,
2009). Keterlibatan mahasiswa Indonesia dalam perubahan social baik secara inteketual maupun gerakan
lapangan terus berjalan pada pemerintahan Orde Baru hingga era reformasi pada
tahun 1998 (Adi S. Culla, 1999; Muchtar E. Harahap dan Andris Basril, 1999;
dll.)
E. Strategi Aktualisasi
Dalam
upaya menghadapi tantangan globalisasi, kita bisa belajar dari sejarah Walisongo.
Pada era Walosongo sebenarnya telah terjadi proses globalisasi, karena pada
saat itu telah terjadi kobtestasi kebudayaan dan kompetisi ekonomi di
Nusantara. Sejarah mencatat, pada era Walisongo di Nusantara telah masuk kebudayaan
India, Cina, Persia dan Arab. Namun dengan kecerdikana dan kreatifitas tinggi,
para Walisongo berhasil merumuskan strategi kebudayaan yang tepat sehingga
mampu melakukan transformasi social secara cepat tanoa ada kegaduhan dan
konflik social yang berarti. Mereka mampu membentuk kekuatan budaya yang mampu
merajut berbagai keragaman yang ada di bumi Nusantara.
Keberhasilan
Walisongo dalam ini bersumber dari dua hal, pertama karena kemempuan mereka
dalam menyerap, memahami secara mendalam berbagai ragam tradisi, nilai-nilai
lokal dan konstruksi social masyarakat
Nusantara. Mereka menjadikan semua itu sebagai sumber inspirasi yang
ddikembangkan secara kreatif dengan memadukan unsure-unsur terbaik dari tradisi
luar. Para Walingi songo tidak menerima begitu saja nilai-nilai dan kebudayaan
dari luar, tetapi mensiskapi kebudayaan dari luar secara kritis dan selektif
dan menjadikannya sebagai referensi untuk mengembangkan nilai-nilaia tradisi
dan kebudayaan lokal.
Sebagai
kebudayaan luar, tradisi Islam yang masuk di Nusantara tidak begitu saja
diterima, tetapi disaring dan dipilah mana yang cocok dan bisa diterapkan di
Nusantara akan dipakai, tetapi yang tidak cocok akan ditinggalkan dan diambil
isi dan subatansi ajarannya untuk digunakan mengisi tradisi dan budaya yang
sudah tumbuh di bumi Nusantara, seperti tercermin dalam seni wayang dan
berbagai tradisi keagamaan yang khas Nusantara, nydran, tahlilan, selametan dan
sebagainya. Dengan cara ini maka Islam bisa diterima dengan lapang dada dan penuh
suka cita.
Menghadapi
arus globalisasi dengan derajad kompetisi yang tinggi, perlu kreatifitas dan
strategi canggih seperti yang dilakukan para wali. Dalam konteks kekinian,
strategi ini diterapkan secara baik oleh Gus Dur. Pada zaman wali, wayang
adalah seni budaya yang paling efektif untuk menyampaikan pesan dan sarana
pendidikan. Masyarakat yang tidak bisa menerima wayang akan dikucilkan dan saat
itu belum ada cara lain untuk melakukan pendidikan yang sefektif wayang. Pawa
juga tahu bahwa wayang adalah tradisi dan seni budaya yang berasal dari
Hindu-Buddha dan sarat dengan ajaran Hindu-Buddha, tapi karena wayang telah
menjadi kenyataan budaya yang tak terhindarkan maka akhirnya para wali
menggunakan wayang sebagai sarana dakwah. Hal yang sama terjadi juga dalam
bemtuk-bentuk kebudaya dantradisi lainnya. Strategi inilah yang oleh Gus Dur
disebut dengan pribumisasi Islam (Gus Dur, 2006).
Pada
era globalisasi, demokrasi, HAM, humanism adalah konsep yang tidak terhindarkan,
siapa yang menolak konsep tersebut akan dikucilkan dari pergaulan internasional
dan menjadi musuh bersama masyarakat global. Gus Dur faham betul atas kondisi
ini. Olehkarenya Gus Dur menerima dan mengambil konsep ini dengan baik meski
beliau tahu bahwa semua konsep tersebut berakar dari filsafat humanism liberal
yang ujungnya adalah nihilism/agnostisme. Gus Dur menerima konsep tersebut
sebagai strategi, seperti para Wali menerima wayang bersal dari Hindu Budhha. Namun Gus Dur memasukkan nilai-nilai dan
ajaran Islam seperti konsep ad-kliyyatul khomsah, kaidah ushul fiqh, tasawwuf
dan teologi dalam konsep demokrasi, HAM, Pluralisme dan sebagainya, seperti
para wali memasukkan nilai dan ajaran Islam dalam wayang. Melalui cara ini Gus
Dur saja bisa memasukkan nilai-nilai dan ajaran Islam dealam pemikiran
orang-orang barat dan mereka menerimanya dengan suka cita, labih dari itu
melalui strategi ini Gus Dur telah mampu membuat strategi kebudayaan sehingga
bisa menaklukkan arus globalisasi.
Selain
belajar pada Walisongo, kita juga perlu belajar dari para aktivis gerakan
kebangsaan dan para ulama pendiri bangsa. Para intelektual dan ulama yang aktif
dalam gerakan kebangsaan adalah orang-orang yang masuk dalam ;pusaran global
karena mereka belajar dan bersinggungan dengan pemikiran dan budaya asing
khsusunya Eropa dan Arab. Namun mereka tidak tergerus oleh budaya Eropa dan
Arab, sebaliknya mereka justru mampu menjaga jarak dengan kebudayana Eeropa dan
Arab sehingga mampu merebut kemerdekaan dari penjajah dan mendirikan NKRI
dengan Pancasila sebagai dasar Negara.
Ini
bisa terjadi karena para pendiri bangsa ini memahami sejarah bangsanya secara
mendalam sehingga mampu menjadikannya sebagai referensi kehidupan dalam
menghdapi kenyataan. Selain itu mereka juga memahami tradisi bangsa, sehingga
bisa dijadikan jangkar dalam menghadapi arus zaman sehingga mereka tidak
menjadi generasi yang mudah hanyut ditelan arus zaman. Melalui pemahaman
sejarah dan tradisi yang mendalam mereka tampil menjadi manusia kreatif
sehingga mampu melahirkan karya-karya besar sebagaimana terlihat pada sosok
para ulama Nusantara yang karyanaya masih dijadikan referensi di beberapa
Negara di Timur tengah hingga saat ini.
Berkaca
dari sejarah para leluhur, maka dalam menghadapi kepungan arus globalisasi perlu
menggali dan mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila dan spirit kebangsaan. Hal
ini bisa dilakukan dengan menggali nilai sejarah bangsa dan akar-akar tradisi
Nusantara sebagai sumber referensi (resources) yang sekaligus pijakan agar
tidak mudah hanyut dalam arus peradaban bangsa lain.
Dalam
konteks membangun distingsi keilmuan Fakultas Adab dan Dakwah maka perlu
mengkaji dan memahami sejarah dan kebudayaan Nusantara sebagaimana tercermin
dalam berbagai kitab sastra Klasik Nusantara, seperti babat, serat, suluk dan
sebagainya. Kitab-kitab ini tidak saja mengandung dimensi astetik karena nilai
sastranya yang tinggi, tetapi juga sarat dengan manka etik yang jika digali
secara serius bisa menjadi sumber sumber inspirasi dalam membangun pemikiran
dan strategi kebudayan yang efektif dalam menghadapi globalisasi. .
Bagi
mahasiswa Fakultas Ushiluddin, distingsi keilmuan bisa bisa dibangun dengan menggali berbagai
karya klasik ulama dan para pemikir
Nusantara yang kaya dengan falsafah kehudupan seperti Seraat Dewa Ruci, Suluk
Linglung karya Sunan Kalijaga, Syair-syair religi. karya-karya Hamzah Fasuri,
Falsafah wihdatul Wujud syech siti Jenar, Serat Hiadayat Jati karya Ronggo Warsito, Wedhatama karya Mangkunegoro
IV adalah kitab-kitab yang sarat dengan ajaran spiritual yang sangat penting
untuk oengembangan ilmu Ushuluddin.
Dengan
menggali khazanah oemikiran para leluhur para mahasiswa Fak. Ushuluddin dan
Dakwah tidak saja mampu membangun distingsi keilmuan dan mengaktualisasikan
Nilai-nilai Pancasila dan spirit kebangsan, tetapi juga membangun kebudayaan
dan peradaban yang bisa menjadi
alternatiuf di tengah kepungan arus globalisasi.
Daftar Putaka
Agus
Sunyoto (2011), Atlas Wali Songo, Tangerang,
Transpustaka.
Archer,
M. (1990) ; ‘Forward’, in M. Albrow and E. King (eds), Globalization, Knowledge
and Society: Readings from International
Sociology. London: Stage
A,
Maftuh Abi Gabriel dan A. Yani Abeveiro
(2004), Negara Tuhan: the thematic
encyclopaedia, Yogyakarta, SR-Ins
Publ;ication
Taylor
Holland (2009), Ilusi Negara Islam, Jakarta, PT. Desantara Utama Media kerja sama dengan LibForAll Fundation
Yudi Latif. (2011) Negara paripurna: historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
Harvina,
S.Sos (2013), Masliapari; Tradisi Gotong Royong Masyarakat Mandailing, dalam http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/2013/12/19/marsialapari-tradisi-gotong-royong-masyarakat-mandailing/
Yusuf
Effendi (2011), Alang Tulung; Tradisi Gotong Royong Masyarakat Gayo NAD, dalam:
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2743/alang-tulung-tradisi-gotong-royong-masyarakat-melayu-gayo-nad
M.
Nasroen (1967), Falsafah Indonesia,
Jakarta, Bulan Bintang.
Gesta
Bayuadhy (2015), Tradisi-tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, Yogyakarta, Dipta
Abdurrahman
Wahid (2006), Islamku Islam Anda Islam
Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi¸Jakarta, Wahid Institut
Fakih, M. (2001) Sesat Pikir Teori Pembangunan dan
Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press
Held, D.
et al,. (1999) Global Transformations Politics, Ekonomi and Cultural. Stanford
University Press, Standford California.
Hirst, P.
and G. Thompson (1996) Globalization : Ten Frequently Asked Questions and Some
Supprising Answer, Sounding, vol. 4 (Autumn)
Scholte,
J.A (2000) Globalization : a Critical Introduction. Palgrave
Daniel
Dhakidae (2003), Cendekiawana dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Jakarta; PT
Gramedia Pustaka Utama
Edward
Shils (1960). “The Intellectuals in the PoliticalDevelopments of the New
States”, World Politics,.
Francois
Raillon (1985),, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan
Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Penerjemah Nasir Tamara, Jakarta: LP3ES,
Gramscy,
Antonio (1971), Selection From The Prison Notebooks, edited and translated by
Quentin Hoare and Geoffrey Nowell Smith, London; Lawrence & Wishart
George
McTurnan Kahin (2003), Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta; Komunitas
Bambu
Harry J.
Benda dalam Moh. Hatta dkk. (1984), Cendekiawan dan Politik, Jakarta; LP3ES
J.D. Legge
(terj). Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Syahrir.
Jakarta. Pustaka Utama Grafiti. 1993.
John
Maxwell. Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani Jakarta.
Pustaka Utama Grafiti. 2005.
M.C.
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern.Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
2005.
Muchtar E.
Harahap dan Andris Basril, Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia,
(Jakarta: NSEAS, 1999).
Poesponegoro,
Marwati Djoenet dan Nugroho Notosusanto
(2009), Sejarah Nsional Indonesia Jilid II dan V, Jakarta; Balai Pustaka
R.Z.
Leirissa dkk. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda.Jakarta. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1989.
Slamet
Muljono (1965), Menudju Puntjak Kemegahan: Sedjarah Keradjaan Madjapahit,
Jakarta; PN Balai Pustaka
Zaenul
Milal Bizawie (2013), Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad, Jakarta; Pustaka
Compass
*) Makalah pengantar diskusi dalam seminar Distingsi Keilmuan Fakultas Ushulidin, Adab
dan Dakwah Dalam Niali Kebangsaan, IAIN
Syech Nurjati, Cirebon, 23 Oktober 2017
**)
Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana UNUSIA Jakarta, Tim Ahli Utama Unit
Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) dan penggiat seni tradisi
dan budaya Nusantara
[1]
Informasi ini penulis peroleh dari ceritera Gus Amin Hamid (Putra kyia Hamid
Kajoran) saat penulis melakukan wawancara. Di ceritakan oleh Gus Amin, menjelang
penetapan Asas Tunggal Pancasila dalam Munas
Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983 beberapa kyai menghadap mbah Hamid
Kajoran. Para kyai yang menghadap diantaranya
KH. Imron Hamzah, Surabaya; KH. Ali Maksum, Krapuak, Yogyakarta; KH. Saeful Mujab, Yogyakarta. Mereka bertanya
bagaimana sikap NU dalam penerapan asas tunggal Pancasila? Atas pertanyaan itu kyai Hamid menjawab,
sebetulnya kita ummat Islam Indonesia harus bersyukur kalau Pancasila jadi azas
tunggal, karena Pancasila itu produk pemikiran ulama, kalau dia jadi azas
tunggal itu artinya Pancasila dikembalikan kepada kita ummat Islam. Kemudian
kyai Hamid memberikan tafsir tehadap sila-sila Pancasila termasuk menyampaikan
statemen di atas.
Komentar
Posting Komentar