ADAT ISTIADAT DI BENDA KEREP KAB.CIREBON
ADAT ISTIADAT DI BENDA KEREP
KAB.CIREBON
Kampung adat Benda Kerep terletak di Argasunya Kecamatan
Harjamukti Kota Cirebon. Masyarakat kampung ini masih memelihara tradisi yang
hingga kini masih dilakukan setiap tahunnya yakni haolan, muludan dan syawalan
yang selalu dilaksanakan dengan maksimal oleh seluruh masyarakat kampung adat
Benda Kerep bahkan hingga menarik simpati masyarakat yang ada di Cirebon dan
luar Cirebon (Ruyadi, 2010, hlm. 582). Masyarakat ta’at pada aturan-aturan yang
telah dibuat. Aturan itu antara lain, tidak diperkenankan untuk memiliki
televisi dan radio, tidak memakai speaker/pengeras suara dimasjid serta menolak
pembangunan jembatan untuk akses menuju kampung adat. Masyarakatnya dikenal ta’at
pada nilai-nilai Islam, keta’atan ini nampak dari cara berpakaian seperti
laki-laki yang selalu mengenakan sarung dan peci, sedangkan untuk perempuan
selalu mengenakan kain samping atau sarung dan kerudung.
Tradisi yang masih dipertahankan di kampung adat Benda Kerep
ini tentu bisa dikatakan sebagai kearifan lokal (local wisdom) dengan
aturan-aturan dan nilai-nilai yang dijadikan acuan dalam hidup. Sebagai contoh
televisi yang saat ini sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat. Televisi
dengan cepat memberikan banyak informasi dan memberikan banyak pengaruh pada
perkembangan anak-anak saat ini. Ada orang tua yang membiarkan anak mereka
diasuh oleh tontonan televisi. Peran televisi maupun media teknologi memegang
peranan penting dalam perubahan keluarga maupun gaya hidup. Masyarakat kampung
adat Benda Kerep ingin menjaga cara hidup yang ada dari pengaruh budaya luar
yang dapat melunturkan nilai-nilai kearifan lokal yang telah dimiliki.
Adat istiadat yang sudah terjaga itu tidak terlepas dari
peran sertakeluarga yang merupakan suatu unit kesatuan sosial terkecil. Muchtar
(2009, hlm. 5) mengungkapkan bahwa keluarga adalah satu unit terpenting dalam
masyarakat. Melalui keluarga, anak-anak dilahirkan. Sosialisasi anak kali
pertama terjadi dalam keluarga. Pendapat tersebut menunjukkan keluarga berperan
besar dalam melestarikan kebudayaan yang ada dilingkungan sekitar. Karena
keluarga merupakan tempat anak pertama kali menjalani hidup bersosial belajar
nilai dan norma, kebiasaan-kebiasaan serta adat istiadat yang berlaku. Sama
halnya dengan pendapat Bern (Lestari, 2012, hlm. 22) yang menyatakan bahwa
keluarga memiliki beberapa fungsi dasar salah satunya yakni sosialisasi dan
edukasi artinya keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan,
sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya
kegenerasi yang lebih muda.
Dalam melestarikan kebudayaan dan adat istiadat tidak
terlepas dari peran serta orang tua dan pola asuh atau gaya pengasuhan orang
tua dalam mendidik anak-anaknya. Pola asuh sering berkaitan dengan kedisiplinan
dan kemandirian, namun dikampung adat ini masyarakatnya begitu nampak taat pada
nilai-nilai tradisi yang ada seperti yang di ungkapkan oleh Ruyadi (2010, hlm.
583) nilai-nilai dasar tradisi tersebut, yakni: (1) ketaatan terhadap wasiat
sepuh yang melahirkan nilai-nilai instrumental: (a) kepatuhan kepada kyai, (b)
menghormati kyai, (c) menghormati kepada yang lebih tua, (d) semangat
bersilaturahmi, dan (e) kekeluargaan, dan (2) menolak hal-hal yang bertentangan
dengan ajaran Islam yang melahirkan nilai-nilai instrumental: (a) berpakaian
menutup aurat, (b) menjaga akhlak, (c) prinsip muhrim dan bukan muhrim, (d)
kesederhanaan, dan (e) harmoni dengan alam.
Baumrind (Santrock, 2007, hlm. 167) mengungkapkan bahwa
terdapat empat teori yang berkaitan dengan pola asuh orang tua yakni pengasuhan
otoritatarian, pengasuhan otoritatif, pengasuhan yang mengabaikan dan pengsuhan
yang menuruti. Orang tua memiliki kecenderungan pada salah satu gaya pengasuhan
meskipun cara pengasuhannya akan berbeda disetiap usia anak, mengikuti
kebutuhan dan kemampuan anak. Karena anak usia 6 tahun berbeda dengan anak usia
3 tahun. Menurut Maccoby (Santrock, 2007, hlm. 164) orang tua yang baik
menyesuaikan diri terhadap perubahan perkembangan anak tersebut.
Dari ke empat gaya pengasuhan yang dirumuskan oleh Baumrind
ada salah satu pengasuhan yang diunggulkan atau dianggap paling baik dari pola
asuh yang lainnya yakni pengasuhan otoritatifyang paling efektif. Router dan
Conger (Santrock, 2007, hlm. 168) mengungkapkan bahwa orang tua yang otoritatif
menerapkan keseimbangan yang tepat antara kendali dan otonomi, sehingga
memberikan anak kesempatan untuk membentuk kemandirian sembari memberikan
standar, batas, dan panduan yang dibutuhkan anak. Namun beberapa peneliti telah
menemukan bahwa di beberapa kelompok etnis, aspek dari gaya otoritarian mungkin
diasosiakan dengan kualitas anak yang lebih positif daripada yang diperkirakan
Baumrind (Santrock, 2007, hlm. 168).
Pengasuhan orang tua dilakukan semenjak anak itu lahir yakni
usia 0 tahun yang artinya dilakukan semenjak dini. Anak usia dini adalah anak
yang berada pada rentan usia o-6 tahun. Diusia ini semua perkembangan anak
berkembang dengan pesat baik perkembangan bahasa, kognitif, fisik motorik,
serta sosial-emosionalnya. Pada masa ini anak layaknya sponsyang dengan cepat
menyerap pengetahuan yang ada dilingkungannya dan akan membekas hingga ia
dewasa nanti. Begitupun dengan penanaman nilai-nilai budaya maupun kearifan
lokal sebaiknya diperkenalkan di usia ini.
Pengasuhan orang tua dilakukan semenjak anak itu lahir yakni
usia 0 tahun yang artinya dilakukan semenjak dini. Anak usia dini adalah anak
yang berada pada rentan usia o-6 tahun. Diusia ini semua perkembangan anak
berkembang dengan pesat baik perkembangan bahasa, kognitif, fisik motorik, serta
sosial-emosionalnya. Pada masa ini anak layaknya sponsyang dengan cepat
menyerap pengetahuan yang ada dilingkungannya dan akan membekas hingga ia
dewasa nanti. Begitupun dengan penanaman nilai-nilai budaya maupun kearifan
lokal sebaiknya diperkenalkan di usia ini.
Komentar
Posting Komentar